Dr. Leo Zehntner, satu dari dua pelopor studi hama di Hindia Belanda, tiba di Jawa pada tahun 1894. Ia didatangkan untuk menangani permasalahan hama tanaman di perkebunan tebu dan kakao.
Andai saja ada yang bertanya siapakah sosok yang memelopori studi hama tanaman di Hindia Belanda (Indonesia), saya harus menjawabnya ada dua orang. Dr. Leo Zehntner dan Dr. Jacob Christiaan Koningsberger.
Mengapa ?. Karena keduanya tiba di Jawa pada tahun yang sama, 1894. Mereka adalah dua orang Eropa pertama yang mengemban tugas menyelidiki hama tanaman di Hindia Belanda. Meski begitu, keduanya datang sendiri-sendiri, dan dari negeri yang berbeda pula. Dr. Leo Zehntner dari Swiss, sementara Dr. JC Koningsberger dari Belanda.
Kehadiran keduanya di Hindia Belanda tak lepas dari perkembangan perkebunan swasta yang pesat kala itu.
Ini bermula dari diterapkannya cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada tahun 1830. Dalam sistem ini penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam 20% lahannya dengan tanaman ekspor yang laku di Eropa seperti tebu, kopi, nila, dan tembakau. Penduduk pribumi juga wajib bekerja di perkebunan pemerintah sebagai pajak atas 80% lahan yang tidak ditanami tanaman ekspor.
Tumbuhnya gerakan kaum Liberal/Humanis di negeri Belanda, mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda menghapuskan sistem tanam paksa pada tahun 1870. Pada saat yang bersamaan, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang memberikan hak erfpacht (hak guna usaha) selama 75 tahun kepada para pengusaha swasta yang begerak di bidang perkebunan.
Ujungnya, para pemilik modal bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya pada berdatangan membuka perkebunan di Hindia Belanda. Tanaman yang dikembangkan sebagian merupakan kelanjutan dari cultuurstelsel seperti tebu dan kopi, atau perbaikan sistem seperti tembakau. Sebagian lagi, tanaman jenis baru seperti teh dan karet.
Sejarah di belahan bumi lain mencatat bahwa penanaman satu jenis tanaman dalam skala luas (monokultur) meningkatkan risiko terjadinya ledakan hama dan penyakit tanaman. Benar saja !. Pada tahun 1881 perkebunan tebu di Jawa Barat diserang oleh penyakit sereh, yang menyebabkan tanaman tebu tak punya batang. Dari tunggul langsung tumbuh daun, persis seperti tanaman sereh. Tak lama kemudian, penyakit yang disebabkan oleh virus ini menyebar ke seluruh Jawa.
Berjangkitnya penyakit sereh, bersamaan dengan ancaman perdagangan gula bit dari Eropa, mendorong para pengusaha pabrik gula untuk iuran mendirikan stasiun percobaan. Tahun 1885 berdiri Het Proefstation Midden Java di Semarang, kemudian tahun 1886 Proefstation voor Suikerriet in West Java di Kagok-Tegal, dan tahun 1887 Proefstation Oost-Java di Pasuruan. Memang kala itu, Jawa adalah penghasil gula terbesar di dunia.
Untuk menanggulangi penyakit sereh, Proefstation Oost-Java (POJ) melakukan persilangan untuk mendapatkan varietas resisten. Persilangan antara tebu (Saccharum officinale) dengan gelagah (Saccharum spontaneum) menghasilkan varietas POJ 2878 yang sangat resisten terhadap penyakit sereh.
Tak hanya penyakit sereh, berbagai jenis serangga hama juga banyak menyebabkan kerusakan. Bertolak dari adanya permasalahan hama di perkebunan tebu itulah Dr. Leo Zehntner didatangkan ke Jawa.
Lantas, sebenarnya siapakah sosok Dr. Leo Zehntner, dan apa saja kiprahnya selama tinggal di Hindia Belanda ?. Simak kisahnya berikut ini.
Leo Zehntner (Gambar 1) lahir di Reigoldswil, Swiss pada 19 Desember 1864. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan studi dalam bidang ilmu pengetahuan alam dan matematika pada Fakultas Filsafat, Universitas Basel dari 1883-1887. Lalu melanjutkan studi di Universitas Bern, dan memperoleh diploma sebagai guru sekolah lanjutan pada 1888.
Gambar 1. Dr. Leo Zehntner (Sumber: John Hollier, Museum d'Histoire Naturelle de Geneve) |
Rupanya profesi guru bukanlah passion-nya. Buktinya, ia berhenti sebagai guru dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Ia lulus pada Mei 1890 dengan gelar doktor dalam zoologi. Dr. Leo Zehntner kemudian bekerja sebagai asisten peneliti pada Museum d'Histoire Naturelle de Geneve (MHNG) - museum sejarah alam yang berlokasi di Jenewa.
Bermula tatkala Proefstation Oost Java di Pasuruan (Gambar 2) - kini Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) - pada tahun 1894 membuka lowongan kerja bagi entomologiwan. Tugasnya menangani permasalahan hama di perkebunan tebu. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Zehntner pun lantas mengirimkan berkas lamarannya.
Gambar 2. Gedung Proefstation Oost Java Pasuruan (Sumber: Collectie Tropen Museum) |
Tak perlu menunggu lama, jawaban pun datang. Lamarannya diterima. Tak heran, ia punya rekam jejak yang cukup bagus. Selain punya bekal pernah kerja di museum, ia juga mengantongi lima publikasi internasional, di luar disertasinya. Kala itu, tak ada persyaratan harus terindeks Scopus.
Singkat cerita, pada tahun itu juga, berangkatlah ia dengan menggunakan kapal laut ke Jawa. Setibanya di Pasuruan, segera ia menghadap Dr. JH. Wakker, direktur stasiun percobaan gula di sana.
Selama di Pasuruan ia melakukan penyelidikan berbagai hama di perkebunan tebu, utamanya yang disebabkan oleh serangga. Di antaranya penggerek batang, kutu perisai, kutu tempurung, belalang, dan serangga hama lainnya.
Pada tahun 1897, ia dipindahtugaskan ke stasiun percobaan gula di Kagok-Tegal (Gambar 3). Di tempat barunya ini, ia melanjutkan penyelidikan yang telah dirintisnya di Pasuruan. Ia tinggal di Kagok hingga tahun 1900.
Gambar 3. Gedung Proefstation voor Suikerriet Kagok, Tegal (Sumber: KITLV) |
Hasil penyelidikannya selama menggeluti hama tebu dituangkan dalam bentuk monograf, yang terbit sebagai Mededeelingen van het Proefstation Oost-Java (Pemberitaan Stasiun Percobaan Jawa Timur).
Setiap monograf memaparkan satu atau beberapa jenis hama yang menyerang tebu. Di dalamnya ada pertelaan morfologi, gejala, perikehidupan, musuh alami, dan cara pengendaliannya.
Sedikitnya ada 30 monograf tentang hama tebu. Salah satunya perihal penggerek batang tebu, Diatraea striatalis Snellen [sekarang: Chilo sacchariphagus (Bojer)], lengkap dengan lukisan tangan berwarna dari kelompok telur, larva penggerek, dan parasitoid telur (Gambar 4).
Gambar 4. Penggerek batang tebu, Chilo sacchariphagus (Bojer) dan parasitoid telur sebagaimana dilukis oleh Zehntner (Sumber: Archief voor de Javasuikerindustrie) |
Sebelum Zehntner tiba, pengendalian hama penggerek batang dilakukan dengan memungut ulat sebanyak-banyaknya lalu dimatikan. Ini berlangsung di banyak perkebunan tebu selama 8-10 tahun.
Hasil penyelidikan Zehntner nenawarkan cara pengendalian lain yang lebih rasional dan berbasis sains. Melalui studi perikehidupan, ia mendapati bahwa telur penggerek batang diletakkan secara berkelompok pada daun muda. Ia yakin bahwa, melalui pelatihan, penduduk pribumi dapat dengan mudah mengenali kelompok telur itu di lapangan.
Ia juga menemukan bahwa sekitar 2/3 dari butir telur dalam kelompok telur terparasit oleh Ceraphron beneficiens Zehntner [sekarang: Telenomus beneficiens (Zehntner)] dan Chaetosticha nana Zehntner [sekarang: Trichogramma nana (Zehntner)].
Dari pemahaman perikehidupan itu, ia menyarankan untuk memeriksa kebun tebu secara teratur, dan bila ditemukan kelompok telur, bagian daun tadi digunting. Ia menyadari bahwa bila kelompok telur ini dimusnahkan, parasitoidnya akan ikut musnah. Oleh sebab itu, guntingan daun yang ada kelompok telurnya tadi dimasukkan ke dalam wadah kaleng, yang di sekelilingnya dilengkapi saluran yang dapat diisi cairan pekat. Ulat yang menetas dari telur tak bisa melewati cairan tadi dan akhirnya mati. Sementara imago parasitoid yang keluar dari telur akan terbang dan memarasit telur penggerek di lapangan.
Selama tinggal di Jawa, ia banyak mengirim spesimen serangga ke museum di Eropa. Tak heran , bila Museum d'Historie Naturelle de Geneve (MHNG) banyak menyimpan spesimen asal Jawa. Misalnya saja koleksi basah kutu perisai tebu (Gambar 5), serta koleksi berbagai spesies belalang yang menyerang tebu (Gambar 6).
Gambar 5. Kutu perisai tebu yang dikoleksi oleh Zehntner di Jawa dan sekarang tersimpan di Museum Jenewa (MHNG) (Sumber: John Hollier, Museum d'Histoire Naturelle de Geneve) |
Gambar 6. Spesimen belalang yang dikoleksi oleh Zehntner di Jawa dan sekarang tersimpan di Museum Jenewa (MHNG) (Sumber: John Hollier, Museum d'Histoire Naturelle de Geneve) |
Banyak dari serangga yang ditemukannya adalah spesies baru. Setidaknya ada 39 spesies yang mengusung nama zehntneri. Misalnya, Stenothrips zehntneri van Deventer, Valanga zehntneri Krauss.
Bahkan ada yang pertelaan dan identifikasinya dilakukan sendiri oleh Zehntner. Misalnya, Chionaspis saccharifolii Zehntner, Chionaspis madiunensis Zehntner [sekarang: Aulacaspis madiunensis (Zehntner)], dan Chionaspis tegalensis Zehntner [sekarang: Aulacaspis tegalensis (Zehntner)].
Pekerjaan taksonomi ini mengundang decak kagum LO Howard, sang penulis buku A History of Applied Entomology terbitan tahun 1930. "Betapa akuratnya Zehntner dalam membuat pertelaan spesies baru; padahal ia tinggal di kota terpencil di Jawa, jauh dari fasilitas perpustakaan dan museum", begitu tulis Howard.
Lebih menarik lagi, ada belalang bernama Acridium zehntneri Zehntner, 1897. Apakah ini artinya Zehntner seorang narsis ?, memberi nama spesies atas nama dirinya sendiri ?. Ternyata bukan begitu. Ini lebih merupakan "kecelakaan taksonomis". Begini ceritanya.
Suatu ketika ia mengirim spesimen belalang kepada Hermann Krauss, seorang pakar taksonomi berkebangsaan Jerman. Tak lama kemudian, ia mendapat jawaban bahwa spesimen belalang yang dikirimkannya itu adalah spesies baru. Dan, sebagai sebuah penghormatan, Krauss berencana memberinya nama Acridium zehntneri.
Mengetahui hal itu, tatkala pada tahun 1897 Zehntner menulis publikasi tentang belalang ini, ia menggunakan nama Acridium zehntneri Krauss. Di dalamnya dipaparkan tentang tingkat kepentingan hama ini di perkebunan tebu, termasuk juga pertelaan morfologinya.
Rupanya, ada kesenjangan komunikasi di antara keduanya. Artikel Zehntner tadi terbit sebelum artikel Krauss kelar. Berdasarkan aturan prioritas dalam nomenklatur, Zehntner-lah nama author yang sah. Krauss pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menerbitkan artikelnya.
Adanya kesenjangan komunikasi antara Zehntner dan Krauss sangat dapat dimaklumi. Bayangkan, kala itu belum ada internet, email, WhatApps, dan sejenisnya.
Belakangan diketahui bahwa Acridium zehntneri sebenarnya bukanlah spesies baru. Willemse, pakar taksonomi belalang, yang menelaah ulang pertelaan dari Zehntner, berkesimpulan bahwa spesimen itu adalah Patanga succinta. Sehingga, sejatinya Acridium zehntneri adalah sinonim dari Patanga succinta.
Pada akhir tahun 1900, setelah menghabiskan waktu hampir selama enam tahun di Jawa, Zehntner merasa bahwa misi ilmiahnya sudah tuntas. Ia pun lantas memutuskan untuk mengambil cuti ke Eropa selama enam bulan.
Namun, jauh hari sebelum keberangkatannya, asosiasisi pengusaha perkebunan kakao di Jawa Tengah mendatanginya. Mereka berharap agar Zehntner kembali ke Jawa untuk membantu menangani permasalahan hama pada perkebunan kakao di Jawa Tengah.
Walhasil, pada tahun 1901 ia kembali ke Jawa. Langkah pertamanya, sepulang dari Eropa, yaitu merintis pendirian stasiun percobaan kakao di Salatiga. Dan, pada tanggal 9 Maret 1901 secara resmi berdirilah Cacao Proefstation te Salatiga, dengan L. Zehntner sebagai direkturnya, sekaligus juga satu-satunya peneliti.
Tak butuh waktu lama. Ia lantas menyusun monograf berjudul "Over einige Insektenplagen der Cacaocultuur op Java" (Tentang Beberapa Serangga Hama pada Budidaya Kakao di Jawa), bertahun terbit 1901(Gambar 7)..
Gambar 7. Sampul depan buku hama kakao yang disusun oleh Zehntner, terbit tahun 1901 |
Di dalam monograf itu disebutkan bahwa hama yang paling merusak adalah hama ngengat (de mottenplaag), yang larvanya menggerek ke dalam buah kakao (Gambar 8). Hama ini pertama kali terdeteksi pada tahun 1895, tetapi serangannya masih terbatas pada beberapa kebun. Pada tahun-tahun berikutnya, hampir seluruh perkebunan kakao di Jawa Tengah terserang berat oleh hama penggerek buah.
Gambar 8. Buah kakao yang terserang hama penggerek (Sumber: Roepke 1917) |
Pergumulan Zehntner dengan hama kakao sejatinya menandai awal penyelidikan kakao di Hindia Belanda. Adalah Zehntner pula orang yang pertama kali melakukan penyelidikan penggerek buah kakao, hama yang kala itu belum ada nama latinnya. Dari penyelidikannya, ia lantas memberinya nama Zaratha cramerella Zehntner, serta menempatkannya di bawah famili Tineidae.
Tiga tahun berselang, Snellen memeriksa ulang spesimen dari Zehntner dan memberinya nama Gracillaria cramerella Snellen, serta menempatkannya di bawah famili Gracillariidae. Belakangan hama ini berubah nama menjadi Acrocercops cramerella (Snellen), dan terakhir Conopomorpha cramerella (Snellen).
Di bawah arahannya, stasiun percobaan Salatiga berkembang pesat, dan mendapatkan banyak dukungan finansial dari para pengusaha perkebunan kakao. Berbagai temuan praktis berhasil dilahirkan. Misalnya, teknik rampasan untuk pengendalian penggerek buah kakao.
Naas, setahun berikutnya (November 1902), stasiun percobaan ini mengalami kebakaran hebat. Bangunan stasiun rata dengan tanah. Termasuk rumah Zehntner yang atapnya menyatu dengan bangunan stasiun percobaan. Karenanya, berbagai naskah hasil penelitian, koleksi serangga, serta berbagai catatan dan lukisan gambar serangga hama ikut musnah terbakar.
Untuk sementara, agar kegiatan penelitian bisa tetap berjalan, ia meminjam berbagai peralatan laboratorium dari Kebun Raya Bogor, stasiun percobaan gula di Pasuruan dan Kagok.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, gedung stasiun percobaan akhirnya berhasil dibangun lagi. Sumberdaya manusia juga bertambah. Menjelang tahun 1905, setidaknya ada 5 orang berkebangsaan Eropa dan 8 orang pribumi yang bekerja di stasiun tersebut.
Selama menggeluti hama kakao, ia menulis setidaknya 20 artikel yang terbit pada Buletin van het Proefstation voor Cacao te Salatiga. Tak hanya kakao, hama pada komoditas lain, seperti indigo dan kina, juga ditelitinya.
Tak lama setelah stasiun percobaan di Salatiga beroperasi lagi, ia menerima kunjungan tamu Dr. Miguel Calmon, Sekretaris Departemen Pertanian Bahia, Brazil. Kedatangannya itu dalam rangka studi banding fasilitas penelitian di Mesir, India, dan Hindia Belanda. Dr. M Calmon bermaksud untuk mendirikan lembaga penelitian pertanian serupa di negaranya.
Terkesan dengan publikasi Leo Zehntner dan tata kelola penelitian di Salatiga, ia menawari Zehntner pindah ke Brazil untuk menjadi direktur lembaga penelitian pertanian baru yang akan didirikannya di sana,
Namun, Zehntner tak serta merta menerima atau menampik tawaran itu. Ia tak mau buru-buru membuat keputusan. Tak mau ..kesusu ..... tak mau juga grasa-grusu ...
Hubungan baik yang terjalin dengan orang-orang pribumi Jawa membuatnya berat hati untuk meninggalkan mereka. Terlebih lagi, sebagai akibat kebakaran, masih ada sebagian tugas yang belum tuntas.
Meski begitu, pada saat yang bersamaan, ia juga tak memungkiri ketertarikannya dengan tawaran itu. Apalagi ia dijanjikan akan disediakan tenaga asisten untuk membantunya, serta bantuan finansial yang cukup untuk pengembangan lembaga baru tersebut.
Beruntung, tawaran posisi itu bersifat terbuka. Artinya, kapan saja Zehntner mau. Tatkala stasiun percobaan kakao di Salatiga pada akhirnya mengangkat Prof Dr. A Zimmerman sebagai penerusnya, barulah Zehntner memutuskan menerima tawaran Dr. M Calmon.
Pada bulan Januari 1906, ia dengan berat hati berpamitan meninggalkan Jawa untuk menjabat direktur penelitian pertanian di Bahia, Brazil.
Selepas pensiun tahun 1920, ia kembali ke negeri kelahirannya. Dr. Leo Zehntner meninggal dunia tahun 1961, pada usia 94 tahun.
Di Indonesia, Dr. L Zehntner meninggalkan warisan berupa pengetahuan tentang perikehidupan berbagai hama tebu dan kakao. Tak boleh dilupakan pula, warisan yang berupa teknologi sederhana pengendalian hama. Misalnya, pemanfaatan parasitoid telur untuk pengendalian ulat penggerek batang tebu, dan teknik rampasan untuk pengendalian penggerek buah kakao.
Eveleens KG. 1976. Agricultural entomology in Indonesia during the colonial period and its relevance to current pest research. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor. No. 19. 26 p.
Hollier J, Hollier A. 2018. Leo Zehntner, Swiss pioneer of tropical applied entomology. Antenna 42(2): 56-60.
Hollier J, Willemse L. 2018. Did Leo Zehntner really name a new species of grasshopper in his own honour ?.Metaleptea 38(3):18-19.
Howard LO. 1930. A history of applied entomology (somewhat anecdotal). Smithsonian Miscellaneous Collections 84: 1-564.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2019. Sejarah Pertanian Indonesia. Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Roepke W. 1917. Cacao. Haarlem: HD Tjeenk Willink & Zoon.
Roepke W. 1954. Dr. Leo Zehntner 90 Jaar. Entomologische Berichten 15(12): 253-254.
Schassmann W. 1942. Dr. Leo Zehntner, Reigoldwil, zum 75. Geburtstage und zur Ernennung al Ehrenmitglied unserver Gesellschaft (19 Dezember 1939). Tatigkeitshericht der Naturforsch Gesellschaft Baselland 12: 26-35.
Wessel PC. 1983. The cocoa pod borer moth (Acrocercops cramerella Sn.): Review of research in Indonesia 1900-1918.
Zehntner L. 1898. The sugarcane borers of Java. pp 32-36. In Howard LO (ed.). Some miscellaneous results of the work of the division of entomology. Bulletin of the US Department of Agriculture Division of Entomology. 10.
Hollier J. 2019. Zehntner a-t-il nommé une sauterelle en son propre honneur ?. https://museumlab-geneve.ch/2019/05/02/zehntner-grasshopper/. Diakses 7 Oktober 2023.
P3GI. 2017. Cerita gemilang industri gula. Pasuruan. https://p3gi.co.id/2017/03/01/cerita-gemilang-industri-gula-pasuruan/. Diakses 16 Oktober 2023.
Rauf A. 2023. Duo Pelopor Studi Hama di Hindia Belanda: 1. Kisah Dr. Leo Zehntner. https://www.serbaserbihama.com/2023/10/kisah-hidup-leo-zehntner.html. Diakses tanggal (sebutkan).
No comments:
Post a Comment