Wereng cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) adalah hama utama pada pertanaman padi, yang pada keadaan tertentu populasinya dapat berkembang sangat cepat dan masif sehingga menyebabkan kegagalan panen.
Pengendalian wereng cokelat yang selama ini banyak dilakukan umumnya bersifat reaktif, berskala lokal (petakan), dan dilakukan sendiri-sendiri, serta lebih ditujukan untuk menyembuhkan gejala.
Adanya gejala lonjakan populasi hama segera diikuti dengan tindakan pengendalian, biasanya dengan aplikasi pestisida. Sejarah mencatat bahwa pengendalian yang demikian tidak pernah berhasil menuntaskan permasalahan hama.
Lain daripada itu, pengendalian hama secara petak demi petak cenderung mengabaikan dinamika spasial populasi hama. Akibatnya, dalam jangka panjang keefektifannya menurun, karena hama dengan mudah berpindah dari petak yang tidak dikendalikan ke petak yang telah dilakukan pengendalian.
Karenanya, diperlukan pemahaman mendalam tentang dinamika metapopulasi hama dalam konteks ruang dan waktu.
Artikel ini mengulas kembali konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) pada wereng cokelat, dengan menekankan pendekatan preemptif yang berskala kawasan.
Materi dikembangkan dari presentasi penulis pada Seminar Nasional “Menemukan Kembali PHT Kita: Memutus Lingkaran Setan Ledakan Wereng Cokelat dan Virus Padi”, yang diselenggarakan di Fakultas Pertanian IPB, Bogor, pada 22 Maret 2018.
Skema kerja PHT
Secara umum, pengelolaan hama dan penyakit pada tanaman memiliki kemiripan dengan pengelolaan kesehatan pada manusia. Kita kerap mendengar pepatah "lebih baik menjaga tubuh tetap sehat daripada mengobatinya setelah sakit". Dalam konteks tanaman, artinya yaitu lebih baik mengupayakan tanaman terhindar dari serangan hama daripada mengendalikannya setelah kena serangan.
Di dunia kedokteran kita mengenal istilah tindakan preventif dan kuratif. Yang disebut pertama bertujuan untuk pencegahan penyakit, dan yang kedua bertujuan untuk penyembuhan penyakit.
Dalam kaitannya dengan hama, tindakan preventif diterapkan untuk mencegah terjadinya serangan, sedangkan tindakan kuratif dilakukan setelah tanaman terserang.
Namun, penggunaan istilah ini dirasa kurang tepat. Pasalnya, penyemprotan secara terjadwal—meskipun bertujuan mencegah serangan—justru bukan tindakan preventif dalam kerangka PHT karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Begitu pula penyemprotan yang dilakukan setelah tanaman terserang, tapi serangannya masih di bawah ambang ekonomi atau ambang tindakan (AT), bukanlah tindakan kuratif.
Oleh sebab itu, dalam konteks PHT saya lebih memilih istilah tindakan preemptif (preemptive) dan responsif (responsive) yang diperkenalkan oleh Andow & Rosset (1990). Meski antara preventif dan kuratif memiliki kemiripan dengan preemptif dan responsif, tapi ada perbedaan dalam interpretasinya.
Pebedaan antara preventif dan kuratif didasarkan pada apakah hama sudah menyerang tanaman atau belum. Sementara perbedaan antara preemptif dan responsif didasarkan pada informasi yang tersedia bagi pengambil keputusan (petani).
Jika keputusan pengendalian didasarkan pada informasi yang berasal dari pengalaman musim tanam sebelumya, maka pengendalian itu tergolong tindakan preemptif. Sementara, jika keputusan pengendalian didasarkan pada informasi keadaan hama pada musim yang sedang berlangsung, maka itu tergolong tindakan responsif.Tindakan preemptif berfokus pada upaya mencegah atau menghindari terjadinya serangan hama pada tanaman. Filosofinya adalah "mencegah lebih baik daripada mengobati". Dengan demikian, dalam PHT tindakan preemptiflah yang harus pertama kali dikedepankan.
Tindakan pengendalian preemptif ini disusun berdasarkan pemahaman bioekologi hama dan lingkungannya. Pemahaman tersebut dapat digali dari pengalaman musim-musim tanam sebelumnya dan juga dari kepustakaan (Gambar 1).
![]() |
Gambar 1. Skema kerja pengelolaan hama terpadu (PHT). |
Sudah barang tentu, tindakan preemptif tidak selalu mampu mengekang perkembangan populasi hama di bawah batas yang dapat ditoleransi atau ambang tindakan (AT). Karenanya, bila hal itu terjadi maka perlu diikuti tindakan responsif.
Tindakan responsif tersebut dilakukan berdasarkan informasi status hama pada musim tanam yang sedang berjalan, yang datanya diperoleh dari hasil pemantauan agroekosistem.
Dalam skema ini, setiap tindakan pengendalian dapat digolongkan sebagai preemptif atau responsif. Sebagai contoh, pengumpulan kelompok telur penggerek batang padi di persemaian yang dilakukan secara otomatis pada saat memeriksa persemaian, maka disebut tindakan preemptif. Namun, jika pengumpulan menunggu hingga populasi kelompok telur mencapai jumlah tertentu atau ambang tindakan (AT), maka termasuk tindakan responsif.
Metapopulasi dan PHT skala kawasan
Dalam ekologi pertanian, pertanaman semusim seperti padi dikategorikan sebagai habitat efemeral, yaitu habitat yang bersifat sementara dan berumur singkat. Siklus hidup tanaman padi, misalnya, dari sejak penanaman hingga panen umumnya berlangsung selama 3 hingga 4 bulan.
Setelah panen, seluruh rumpun padi dibabat, dan lahan diolah kembali untuk siklus tanam berikutnya. Pada fase ini, lahan menjadi kosong dari vegetasi, sehingga populasi hama yang sebelumnya menghuni area tersebut mengalami kepunahan lokal atau lenyap.
Sebagai konsekuensinya, hama yang bergantung pada habitat efemeral ini harus melakukan kolonisasi ulang secara periodik pada lahan yang baru ditanami. Pada tahap awal kolonisasi, kerapatan populasi hama biasanya rendah.
Seiring dengan pertumbuhan tanaman, populasi hama dapat berkembang pesat. Dalam kondisi tertentu, populasi tersebut dapat melampaui ambang tindakan (AT), menyebabkan kerusakan signifikan pada tanaman.
Menjelang panen atau ketika populasi mencapai puncaknya, hama akan bermigrasi atau pindah ke lahan lain yang baru ditanami, memulai siklus kolonisasi baru. Perpindahan hama ini dapat terjadi antar petakan dalam satu hamparan, antar hamparan dalam satu wilayah, atau bahkan antar wilayah yang lebih luas lagi.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami dinamika populasi hama melalui pendekatan metapopulasi.
Istilah metapopulasi itu sendiri merujuk pada subpopulasi atau sekumpulan populasi lokal hama yang tersebar di berbagai gugus habitat (patch) yang terpisah secara spasial.
Setiap gugus habitat dapat mengalami proses kolonisasi melalui migrai atau perpindahan individu dari gugus lain. Begitu pula, setiap gugus habitat dapat mengalami kepunahan lokal akibat pengendalian hama atau hilangnya habitat karena pemanenan. Namun, melalui proses kolonisasi ulang dari populasi lain, siklus metapopulasi dapat terus berlanjut.
Sebagai ilustrasi, hamparan pertanaman padi yang luas di wilayah Pantura terdiri dari ribuan petak sawah. Setiap petakan sawah dapat dipandang sebagai gugus habitat yang menjadi bagian dari metapopulasi hama. Serangga hama, misalnya wereng cokelat (makroptera) atau penggerek batang, dapat berpindah dari petakan yang terserang ke petakan yang belum terserang.
Dalam konteks pergerakan spasial ini, hama pada suatu petakan dapat menjadi sumber serangan bagi petakan, hamparan, atau wilayah pertanaman lainnya. Besarnya jumlah hama yang memencar dan mengolonisasi petakan tergantung pada kerapatan, jarak, dan kualitas habitat.
Oleh karena itu, untuk hama yang bersifat mobil seperti wereng cokelat atau penggerek batang, pengendaliannya perlu dilaksanakan pada skala luas. Pendekatan yang demikian disebut Area-Wide Pest Management (AWPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu skala kawasan (PHT skala kawasan).
PHT skala kawasan adalah pendekatan pengendalian hama yang dilakukan secara terkoordinasi dan serentak di seluruh wilayah geografis tertentu. Pelaksanaannya melibatkan koordinasi antar petani dalam satu hamparan atau kawasan tertentu.
Berbeda dengan pengendalian hama konvensional yang bersifat lokal dan responsif, PHT skala kawasan bersifat preemptif dan menyeluruh, dengan tujuan untuk menekan risiko terjadinya ledakan populasi hama di suatu wilayah.
Wereng cokelat pasca Inpres (1986-2017)
Selepas dimulainya penerapan PHT di persawahan melalui Program Nasional PHT, tak lama setelah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 1986, serangan wereng cokelat secara umum mengalami penurunan (klik di sini). Meski begitu, beberapa kali sempat terjadi peningkatan serangan wereng cokelat. Misalnya, pada tahun 1998/1999 di Sumatera Utara dan tahun 2005 di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Gambar 2).
![]() |
Gambar 2. Pertanaman padi yang puso akibat serangan wereng cokelat di Cirebon tahun 2005 (Foto: Aunu Rauf). |
Ledakan populasi wereng cokelat yang lebih besar terjadi pada 2009/2010, bersamaan dengan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan penanaman padi hibrida seluas 650.000 ha.
Seperti yang terjadi pada tahun 1970-an, ledakan wereng cokelat pada 2009/2010 juga terjadi di China, Jepang, Korea, Thailand, Malaysia, India, dan Vietnam.
Kala itu muncul kekhawatiran: Apakah sejarah wereng cokelat sedang berulang sejalan dengan adanya perubahan praktik budidaya tanaman ?. Periode ini ditandai dengan meluasnya penanaman padi hibrida, yang diketahui tidak memiliki sifat ketahanan terhadap hama wereng cokelat.
Ada dugaan bahwa padi hibrida lebih memikat hama wereng cokelat yang sedang bermigrasi untuk datang karena tajuknya yang lebih rimbun. Sebetulnya, mungkin bukan semata-mata padi hibridanya yang menyebabkan permasalahan hama wereng cokelat, tetapi insektisida yang bersama benih menjadi bagian dari paket produksi.
Di Vietnam, aplikasi pestisida oleh petani meningkat tiga kali lipat bersamaan dengan introduksi padi hibrida. Keadaan ini menempatkan pertanaman padi dalam risiko yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya ledakan hama wereng cokelat.
Serangan wereng cokelat yang berskala regional itu mendorong IRRI pada tahun 2009, selang 30 tahun sejak simposium wereng cokelat yang pertama, untuk menyelenggarakan lagi simposium bertema “Planthoppers: New Threats to The Sustainability of Intensive Rice Production in Asia“.
Setelah itu, serangan wereng cokelat sempat mereda hampir selama 7 tahun. Namun, pada tahun 2017/2018 terjadi ledakan lagi terutama di Pulau Jawa. Bahkan, di Subang serangan wereng cokelat itu ditengarai sudah berlangsung beberapa musim, seperti ditunjukkan oleh banyaknya sawah yang terserang berat virus kerdil rumput (Gambar 3).
Gambar 3. Pertanaman padi yang terserang berat virus kerdil rumput di Subang tahun 2017 (Foto: Aunu Rauf). |
Berbeda dengan ledakan tahun 2009/2010 yang lintas negeri, ledakan pada tahun 2017/2018 hanya terjadi di Indonesia, berbarengan dengan program Upaya Khusus (UPSUS) percepatan peningkatan produksi dan swasembada padi, jagung kedelai (Pajale).
Pemicu ledakan wereng cokelat
Perkembangan serangan hama wereng cokelat dipengaruhi oleh dua faktor utama: iklim dan praktik budidaya tanaman. Iklim, sebagai fenomena alam, nyaris mustahil diubah sesuai kehendak kita. Oleh karena itu, dalam upaya mengelola hama wereng cokelat, penting bagi kita untuk memahami praktik-praktik budidaya tanaman yang dapat memicu terjadinya ledakan populasi hama ini.
Berdasarkan pengalaman lapangan, praktik budidaya tanaman yang memicu ledakan wereng cokelat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok (Gambar 4).
![]() |
Gambar 4. Berbagai praktik budidaya tanaman yang dapat memicu ledakan wereng cokelat. |
Reproduksi wereng cokelat dipastikan akan meningkat pada padi varietas rentan dengan batang sukulen akibat N berlebih. Reproduksi wereng cokelat juga dapat meningkat apabila terpapar insektisida tertentu, bahkan insektisida tersebut dapat juga mematikan musuh alami wereng cokelat.
Akibatnya, selain reproduksi wereng cokelat meningkat, peran musuh alami melemah. Jika hal ini terjadi, kita berpeluang menyaksikan petakan sawah yang tanaman padinya dipenuhi wereng cokelat disertai gejala rumpun kering (hopperburn) .
Pengamatan Prof. Hermanu Triwidodo (IPB) di Jawa pada musim tanam 2013/2014 menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara penggunaan insektisida dan tingkat serangan wereng cokelat.
Kelompok kedua adalah praktik budidaya tanaman yang bekerjanya pada skala hamparan. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah intensitas penanaman yang tinggi, seperti menanam padi tiga kali setahun atau bahkan lebih tanpa periode bera yang memadai. Praktik budidaya tanaman lainnya yang termasuk kelompok ini adalah penanaman tak serempak.
Di kawasan yang penanaman padinya terus-menerus sepanjang tahun dengan pola tanam yang tidak serempak, selalu ada petak sawah yang berada pada fase vegetatif yang disukai wereng cokelat. Ketika tanaman di satu petak mulai tua dan dipanen, wereng cokelat dengan mudah bermigrasi ke petak sekitarnya yang baru saja ditanam atau masih muda. Migrasi ini menjaga kesinambungan siklus metapopulasi melalui kolonisasi beruntun.
Dengan kata lain, pola tanam padi yang terus-menerus dan tidak serempak ibarat membangun "jembatan penyeberangan" yang memudahkan wereng cokelat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, serta bertahan dari satu musim ke musim berikutnya.
Sebagai akibatnya, terjadi kumulasi peningkatan populasi wereng cokelat dari generasi ke generasi tanpa henti serta peningkatan laju kolonisasi wereng antar wilayah dan antar musim yang semakin membesar.
Ledakan hama wereng cokelat yang terjadi selama dekade 1970 maupun setelahnya, termasuk ledakan besar tahun 1986, 2005, 2010 dan 2017, sangat kental kaitannya dengan berbagai praktik budidaya tanaman yang tadi telah disebutkan.
Ledakan serangan wereng cokelat yang masif itu dapat diakibatkan oleh kombinasi berbagai praktik budidaya tanaman seperti tercantum pada Gambar 4.
Kita dapat membayangkan apa yang bakal terjadi seandainya padi yang ditanam bersifat rentan terhadap wereng cokelat, insektisida yang diaplikasikan menyebabkan resurjensi, dan puluhan ribu hektar padi ditanam terus-menerus dan tidak serempak.
Ledakan hama wereng cokelat pada tahun 1986 dipicu oleh penggunaan insektisida yang masif pada musim-musim sebelumnya. Lebih dari 60.000 ton diazinon, klorpirifos, fention, monokrotofos, dan pentoat disemprotkan ke sawah untuk mencegah serangan hama.
Sama juga halnya, upaya pencapaian target produksi beras melalui peningkatan intensitas penanamam atau indeks pertanaman (IP 300 atau IP 400) berpeluang meningkatkan risiko ledakan wereng cokelat.
Ini karena wereng cokelat adalah hama yang bersifat monofag, hanya menyerang padi. Oleh karena itu, kesinambungan ketersediaan pertanaman padi dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap kelimpahan populasi wereng cokelat.
Lebih dari itu, satu praktik budidaya tanaman dapat mengamplifikasi pengaruh dari praktik budidaya lainnya sehingga menjadi amplifier bagi terjadinya ledakan wereng cokelat yang lebih luas dan ganas.
Peningkatan serangan wereng cokelat akibat penanaman tidak serempak seringkali diiringi intensitas aplikasi insektisida yang tinggi. Ini dapat menyebabkan hama menjadi resisten dan musuh alaminya terbunuh. Akibatnya, wereng cokelat semakin meningkat dan sulit dikendaikan dengan insektisida.
Peningkatan populasi wereng yang berlanjut dari musim ke musim dapat mempercepat penyebaran virus kerdil yang ditularkannya. Selain itu, populasi wereng yang tinggi dan terus menerus akan memberi tekanan seleksi yang kuat, sehingga sifat ketahanan varietas padi akhirnya dapat terpatahkan.
Dengan demikian, tanpa pendekatan pengelolaan yang tepat, lingkaran setan permasalahan hama wereng cokelat beserta virus yang ditularkannya akan terus berputar.
PHT wereng cokelat berbasis pendekatan metapopulasi
Konsep metapopulasi memberikan dasar ekologi untuk merancang strategi PHT yang lebih efektif. Pendekatan ini mengakui bahwa hama wereng cokelat tidak hanya berkaitan dengan satu petak sawah, tetapi juga dengan keseluruhan hamparan persawahan.
Dari perspektif ekologi, populasi wereng pada hamparan persawahan dapat dipandang sebagai metapopulasi, di mana petak-petak sawah (gugus habitat) saling terhubung melalui dispersal (perpindahan individu). Karenanya, setiap gugus habitat dapat mengalami kolonisasi (dihuni wereng baru) atau kepunahan lokal (wereng cokelat lenyap sementara dari petakan).
Dengan begitu, pendekatan metapopulasi menawarkan peluang bagi kita untuk memperkecil risiko ledakan wereng cokelat melalui penurunan laju kolonisasi dan peningkatan kepunahan lokal. Untuk daerah berpengairan teknis, keduanya dapat ditempuh melalui pengaturan pola tanam.
Dengan menerapkan penanaman serempak dalam jendela waktu yang sempit (1-2 minggu) di suatu kawasan, maka gugus-gugus habitat (petakan sawah) memiliki umur tanaman padi yang seragam. Akibatnya, periode panen pun tiba bersamaan. Kegiatan panen yang dilakukan secara serentak tadi menyebabkan wereng cokelat mengalami kepunahan lokal secara masif. Pada giliran berikutnya, laju kolonisasi wereng cokelat dapat menurun tajam.
Selain berimplikasi pada panen serentak, penanaman serempak juga memungkinkan lahan diberakan atau distirahatkan selama 2-3 minggu (idealnya 1 bulan) secara serentak dalam areal yang luas. Masa bera ini berfungsi sebagai filter yang menghambat keberhasilan perpindahan wereng cokelat dari satu musim tanam ke musim tanam berikutnya. Fungsi filter juga dapat diperoleh, bila memungkinkan, melalui rotasi dengan tanaman bukan padi.
Dari perspektif metapopulasi, tanam serempak adalah bentuk intervensi spasial-temporal yang efektif untuk menggangu dinamika populasi wereng cokelat dalam ruang dan waktu.
Untuk keberhasilannya, penanaman serempak perlu dilaksanakan secara bersama oleh kelompok tani pada skala hamparan atau kawasan atau yang lebih luas lagi. Pengaturan pola tanam yang demikian memerlukan dukungan dan keterlibatan pemerintah daerah.
Tentu saja, penanaman serempak perlu dikombinasikan dengan tindakan preemptif lainnya untuk semakin meningkatkan tingkat kepunahan lokal dan menekan laju kolonisasi hama; misalnya melalui penggunaan varietas tahan dan konservasi musuh alami.
Dengan berbagai tindakan preemptif — seperti tanam dan panen serempak, masa bera yang memadai, penggunaan varietas tahan, konservasi musuh alami, serta praktik budidaya lainnya — diharapkan wereng cokelat dapat diturunkan statusnya dari hama utama (key pest) menjadi hama potensial (potential pest), sebagaimana sebelum tahun 1970, atau setidaknya menjadi hama sesekali (occasional pest).
***
Konsep metapopulasi menggeser paradigma pengelolaan wereng cokelat dari pendekatan petakan ke pendekatan hamparan.
Penanaman serempak dan panen serentak diharapkan dapat menurunkan laju kolonisasi dan meningkatkan kepunahan lokal wereng cokelat secara massal.
Sementara, masa bera yang memadai atau rotasi dengan tanaman bukan padi berfungsi sebagi filter yang dapat menghambat keberhasilan perpindahan wereng cokelat dari satu musim ke musim tanam berikutnya.
Keberhasilan penanaman serempak di suatu kawasan menuntut kerjasama antara petani, kelompok tani, POPT, penyuluh pertanian, dan pemerintah daerah.
Andow AD, Rosset PM. 1990. Integrated Pest Management. In "Agroecology" (CR Carroll, JH vandermeer, PM Rosset, Eds.). pp. 413-439. New York: Mc Graw-Hill Publishing Company.
Elliott NC, Onstad DW, Brewer MJ. 2008. History and Ecological Basis for Areawide Pest Management. In "Areawide Pest Management: Theory and Implementation" (O Koul, G Cuperus, N Elliott, Eds.). pp.15-33. Wallingford (UK): CAB International.
Ervis MA. 1997. Metapopulation dynamics and the control of mobile agricultural pests: fresh insights. International Journal of Pest Management 43(4): 251-252.
Ives AR, Settle WH. 1997. Metapopulation dynamics and pest control in agricultural systems. The American Naturalist 149(2): 220-246.
Litsinger JA. 2008. Areawide Rice Insect Pest Managemen: a Perspective of Experiences in Asia. In "Areawide Pest Management: Theory and Implementation" (O Koul, G Cuperus, N Elliott, Eds.). pp.351-33. Wallingford (UK): CAB International.
Loevinsohn ME, Bandong JB, Alviola II AA. 1993. Asynchrony in cultivation among Philippine rice farmers: Causes and prospects for change. Agricultural Systems 41: 419-439.
Loevinsohn ME, Litsinger JA, Heinrich EA. 1988. Rice Insect Pests and Agricultural Change. In "The Entomology of Indigenous and Naturalized Systems in Agriculture" (MK Harris, CE Rogers. Eds.). pp. 161-182. Boulder, Colorado (USA): Westview Press.
Oka IN. 1979. Cultural control of brown planthopper. In "Brown planthopper: Threat to rice production in Asia". pp. 357-369. Los Banos (Philippines): IRRI.
Triwidodo H. 2020. Brown planthopper infestations and insecticide use pattern in Java, Indonesia. AGRIVITA Journal of Agricultural Science 42(2): 320-330.
Vandermeer J, Andow AD. 1986. Prophylactic and responsive component of an integrated pest management. J Econ Entomol 79: 299-302.
Wissinger SA. 1997. Cyclic colonization in predictability ephemeral habitats: A template for biological control in annual crop systems. Biological Control 10: 4-15.
Rauf A. 2025. Konsepsi PHT Wereng Cokelat Revisited. https://www.serbaserbihama.com/2025/06/konsepsi-pht-wereng-cokelat-revisited.html. Diakses tanggal (sebutkan).