Wednesday, November 26, 2025

Puisi-puisi Pilihan Buah Pena Soemartono Sosromarsono

Selepas memasuki masa purnabakti, setidaknya 47 buah puisi telah digoreskannya, sebagian besar ihwal serangga.

Aunu Rauf

Sewaktu saya tengah menyiapkan postingan "Hari-hari Panjang Membersamai Ledakan Ulat Bulu dan Kumbang Tomcat" (under construction), di dalam onggokan berkas pustaka ulat bulu yang berselimutkan debu--lantaran lama tak terjamah--terkubur sebuah amplop surat. Masih utuh dan bersih. Tak ada bekas pernah dibuka, apalagi dibaca. Di sudut kiri atas tertera pengirimnya. Soemartono S, Jl. Cidangiang No.5 Bogor 16127. Dilengkapi tanggal pengiriman 24/5/2011. 

Saat itu, saya betul-betul baru ngeh bahwa 14 tahun silam Pak Soemartono pernah berkirim surat. 

Manakala amplop itu saya buka, di dalamnya ada selembar kertas HVS putih A4 yang bertaburkan untaian bait puisi. Bukan lagi tulisan tangan yang hurufnya sambung-menyambung khas Pak Soemartono, melainkan ketikan huruf Times New Roman 11. 

"Pastilah ada seseorang yang telah membantu ngetikin", begitu pikir saya. 

Puisi itu ia kirimkan kepada saya berkaitan dengan terjadinya ledakan hama ulat bulu pada pepohonan mangga di Probolinggo pada akhir Maret 2011. Pak Soemartono tahu betul, kala itu saya kerap dikejar-kejar wartawan.

Ulat Bulu Mangga

Sedikit orang pun pakar kenal aku
Walau sudah sejak dulu
Hidup menyelinap di dedaunan
Berjenis mangga dan pohon lain kusuka
Di kebun di halaman desa dan kota
Tak pernah sempat mejeng raga
Karena ....
Parasku tak menarik malah menggentarkan
Bilangan puakku juga rendah merata saja
Bertahan seimbang dengan alam dunia

Konon di satu kala tak kupahami
Di daerah Probolinggo timur argo Bromo
Puakku beranak pinak sepuas hati
Ribuan ulat-anak bergerak berjajar berhimpitan
Mengganjang habis semua daun mangga
Meninggalkan pohon-pohon meranggas tuntas
Ngengat-emak terbang berpindah
Mencari ajang pakan anak keturunan
Menabur kegelisahan dan kerugian

Alkisah....
Orang banyak terperangah
Pakar serangga terkesima
Memutar benak membelalakkan mata
Apa gerangan nama dan ragam hayatnya
Nan picu ledakan puak ulat bulu
Beragam duga meluncur dari lidah
Tercetak di harian tergambar di layar kaca
Tersiar melalui udara
Baru wacana saja

Ah....
Sebegitu faktor kunci juga belum dijumpa
Penelitian cerdas ajeg penuntun jalan


Bogor April 2011

Di bawahnya ada nama inisial SS yang ditulis dengan tinta biru.

***

Sudah barang tentu, "Ulat Bulu Mangga" bukanlah satu-satunya puisi yang pernah ia goreskan. Ada sederet lainnya. 

Memang sejak pensiun dari Guru Besar IPB pada tahun 2000, Pak Soemartono mengisi sebagian waktunya dengan menulis puisi. Alih-alih berleha-leha. Jiwa seninya terlahir seketika itu.

Pak Soemartono

Dalam rentang waktu 2003 hingga 2010, ia melahirkan setidaknya 46 buah puisi yang kaya akan nada dan makna. Sebagian besar berkaitan dengan alam, wabil khusus serangga.

Seluruh goresan penanya itu ia himpun dalam sebuah bundel dengan judul "Sepuluh Windu Kumpulan Sajak". Meski istilah yang mungkin lebih tepat adalah kumpulan puisi. Alasannya, setiap sajak adalah puisi, tapi tidak sebaliknya.

Sebagai salah seorang dari ratusan murid-muridnya, ingin rasanya saya menghadirkan sebagian besar puisi-puisinya itu dalam ruang digital. Sekaligus melanggengkan goresan penanya.

Bagi Pak Soemartono, inspirasi dan imajinasi untuk setiap puisi tampaknya bisa terlahir kapan saja dan oleh apa saja.

Misalnya, sewaktu tahun 2008 saya bersua dengannya pada suatu resepsi pernikahan, dan saya bercerita tentang adanya hama baru kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus, tampaknya ia menyimak dan mengendapkan "kuliah" saya tadi dalam benaknya.

Dan, tatkala sebatang pohon pepaya yang tumbuh di halaman belakang rumahnya menjadi korban keganasan hama baru itu, ia pun menuangkan keprihatinannya dalam sebuah puisi. Judulnya sangat ringkas, hanya dua huruf: p dan m.

P.m.

P.m ...? P.....m..?
Oh, Paracoccus marginatus ?!
Kutu tumbuhan itu ?

Dengan sarana apa adanya
Nan berlalu-lalang mendunia
Tak nyana tak kira
Nyebrang dari Meksiko sampai Nusantara
Tak ada yang tahu
Kau sudah tampil di depan mataku
Tanpa ada yang menghalang
Mambantai tanaman orang sayang

Tanya ....
Kau pun pembonceng globalisasi ?


Bogor, Juli 2008.

***

Begitu pula tatkala lagu "tak gendong ke mana-mana" dari mbah Surip mengudara di mana-mana, lagu tadi mengantarkan imajinasi Pak Soemartono ke fenomena foresi pada serangga. Satu jam berlalu, ia pun lantas mengambil pena dan menggoreskannya.

Foresi Vs Menggendong

Foresi satu perilaku serangga
Mencuri gendong demi untung diri
Itulah parasitoid telur Telenomus spp
Tanpa permisi sengaja bertengger di perut
Ngengat betina penggerek batang padi
Tergendong induk inangnya
Berpindah ke mana-mana tanpa terima kasih
Malah memarasit telur penggendongnya
Foresi: pergendongan eksploitasi licik

Menggendong pun perilaku manusia 
Didasari ingin membantu
Yang lemah oleh yang kuat
Dengan kasih sayang bersama
Tak gendong ..... ke mana-mana
Tak gendong...... ke mana-mana
Demikianlah dendang mbah Surip
Seniman nyentrik bersahaja
Ajakan terpuji mendukung yang lemah

Bogor, Agustus 2009

***

Lain halnya dengan puisi di bawah ini yang tergugah oleh tayangan di televisi. Pada suatu sore, 11 November 2008, di luar hujan rintik-rintik membasahi lantai teras. Pak Soemartono lagi asyik menyaksikan program Periskop di Metro TV. Liputannya memang menarik. Tentang botok tawon, kuliner khas Banyuwangi.

Lebah Raja

Lebah Raja ?
Tawon endas, Vespa spp.
Serangga sosial
Pemangsa bangsanya
Sarang dinding kertas di pohon
Musuh sang Raja ?
Manusia penikmat serangga
Sarang dipanggang suluh
Larva direnggut habis
Dilahap hidup
Digoreng disayur
Diganyang bergairah
Kejantanan bersemi di hati
Konon
Tak dikira benak mereka 
Lebah berangsur raib
Dari alam sekitar
Keanekaragaman memudar

Bogor, November 2008

***

Sementara itu, puisi di bawah ini terlahir dari polemik tari Jaipong. Ini bermula ketika pada awal Februari 2009, Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan, mengimbau agar gerakan tarian Jaipong diperhalus, terutama yang menyangkut gerakan 3G: goyang, gitek, dan geol. Imbauan ini sempat mengusik para seniman Jaipong. Namun, akhirnya semua bersepakat bahwa yang paling penting adalah menjaga moral dalam tarian secara umum.

Nah, gerakan 3G inilah yang rupanya mengingatkan Pak Soemartono pada waggle dance (tarian goyang) dari lebah pekerja Apis mellifera, kala tiba di sarang selepas mencari nektar pada jarak > 150 m.. 


Goyang

Goyang geol gitek
Goyang liuk sentak daerah perut
Ciri jaipong seni tari
Bukan erotika bukan pornografi
Tarian rakyat petani
Warisan budaya 
Ti tanah Sunda

Goyang daerah perut tawon madu
Berpadu tari-lari angka wolu
Semboyan bahasa komunikasi
Petunjuk arah jarak posisi
Nektar puspa berlokasi

Dua goyang yang sama
Makna berbeda
Persepsi berbeda


Bogor, 9 Februari 2009

***

Lain lagi dengan puisi bernuansa kritik sosial berikut ini. Menjelang pemilu legislatif 2009, demi kepentingan pribadi, tak jarang politisi yang miskin idiologi berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Kala itu, politisi yang demikian dikenal sebagai kutu loncat.

Kutu Loncat

Kutu loncat meloncat
Menghindar bahaya
Harimau meloncat menerkam mangsa

Politisi meloncat
Akal lebih kuasa
Ah, dunia loncat-meloncat
Penuh tipu daya

Bogor, 3 Maret 2009

***

Akan halnya puisi di bawah ini, ia terinspirasi oleh peristiwa seketika. Suatu pagi di bulan Oktober 2009, sewaktu membuka jendela kamar, Pak Soemartono menyaksikan banyak kumbang bergelantungan pada daun pisang di halaman belakang rumah. Kumbang ini memang di Bogor biasanya muncul pada akhir Oktober dan November. 

Kumbang Exopholis hypoleuca

Waktu muda lundi alias lege
Gemuk menggelung di dalam tanah
Mengganyang berjenis akar
Lalu kepompong membangun tubuh
Muncul kumbang kekar jantan betina
Coklat kehitaman warnanya
Badan bawah bersisik putih
Mata majemuk hitam
Antena berlamel
Terbang memencar melahap dedaunan
Kawin mawin berlangsung bertahap
Menyongsong tugas akhir
Menyebar telur dalam tanah
Melanjutkan putaran hidup
Tahun demi tahun
Tanpa lelah tanpa keluh kesah
Menjalani kodrat alamiah

Bogor, Oktober 2009.

***

Lagi-lagi acara televisi mengilhami puisi. Tanggal 19 April 2009, hari berangsur gelap, Pak Soemartono tengah menonton acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV. Temanya persahabatan, dengan iringan lagu "Kepompong" yang kala itu lagi hits. Ia pun lantas beringsut dari kursi mengambil kertas kosong dan menuliskan puisi berikut ini.

Kepompong

Masa pancaroba
Antara muda dan dewasa
Antara cekak dan paripurna
Kepompong mengubah yang kurang dan tiada
Menjadi ada dan berdaya guna
Demi tugas meneruskan generasi

Persahabatan bagaikan kepompong
Mengandung dinamika interaksi
Menuju yang lebih bermakna
Dalam hidup bersama

Bogor, 22 April 2009

***

Seperti puisi-puisi sebelumnya, goresan pena Pak Soemartono lainnya juga terlahir dari berbagai proses atau suasana. Ada yang berasal dari kenangan semasa kecil tinggal di kampung halaman, ada yang hasil perenungan terhadap alam. Bahkan, sebagaimana yang terdahulu, ada pula yang bernada kritik sosial terkait dengan suasana politik saat itu. Sedangkan selebihnya terinspirasi peristiwa seketika.

Berikut puisi-puisi yang dimaksud. 

Capung dan Walet

Kuingat di tahun-tahun lalu
Di depan gubukku
Setiap asar mengalir ke senja
Kawanan capung kuning
Seliweran berputar-putar di udara
Naik turun dengan anggun
Mengejar mangsa santapan pengantar tidur
Kawanan burung walet pun nimbrung
Berpesta ria bersama

Kini di kala yang sama
Capung dan walet tiada
Digusur kereta besi beraneka warna
Berbaris berisik di jalan depan gubukku
Menghembuskan gas racun
Bergegas keluar mall RAKSASA

Mana capungku
Mana waletku
Di mana mereka mencari mangsa
Aku tidak tahu di mana
Orang lewat kutanya
Aku tak paham jawabnya

Bogor, November 2009

Serangga dan Manusia

Serangga, serangga, serangga.....
Beragam bentuk, kehidupan dan perangai
Penggangu dan pembawa bala
Pun penolong dan pembawa berkah
Membuat manusia berduka
Sekaligus bersyukur
Menyulut kebencian
Melahirkan tenggang rasa

Menyimak perilaku hidupmu
Membuat manusia lebih paham ihwal alam
Serta akal budi pemeliharaanya
Meski sebagian orang membencimu
Makin banyak lagi mencintaimu
Acapkali kaupun mengantar ilham
Membuka pintu ilmu pengetahuan

Bogor, April 2008

Halaman Rumahku

Sebidang lahan
Sekitar rumahku
Tumbuh tumbuhan liar
Berbagai tanaman hias
Beberapa pohon buah

Berbagai artropoda sua habitatnya
Menghuni relung-relung tersedia
Tungau, luwing dan kelabang
Kupu, kepik dan kumbang
Jangkrik dan belalang

Mengasyikkan menatap mereka
Mencermati pesona wujud dan rona
Menikmati getar nyanyiannya
Dalam ketenangan suasana malam

Terlintas di benakku
Andaikan dunia tanpa artropoda
Apakah manusia lebih bahagia
Atau lebih menderita

Cepat kusadari
Fungsi ekologi
Artropoda di alam semesta
Kami bersyukur kepada-NYA

Bogor, 12 Juni 2009

Transformasi dan Reformasi

Telur jentik pupa nyamuk
Telur belatung pupa lalat
Telur lundi pupa kumbang
Telur ulat pupa kupu
Telur nimfa kepik
Berubah bentuk dan fungsi
Mengarah kesempurnaan
Itulah transformasi

Perpolitikan negeri ini
Sudah bulat hati bereformasi
Namun....
Kelemahan manusia tetap mengiringi
Kolusi korupsi tetap bersemi
Caleg beli suara menjual janji
Di DPR mereka lupa
Derita dan asa warga
Ah.....
Reformasi kapan usai
Rakyat tak sabar menanti
Menyaksikan tindakan mulia
Membangun bangsa dan negara
Berdikari dan perkasa

Reformasi
Berubah pola pikir dan moral
Transformasi
Berubah pola fisik dan fungsi

Bogor, 16 Mei 2009

Kupu Idea lynceus lynceus

Terbang melayang anggun
Tinggi di antara tajuk pohon
Penghuni langka belantara Indonesia
Sayap bagaikan kertas putih
Berhias vena dan bercak hitam
Mempesona pandangan mata

Aku ingin mengkajimu
Kerabatmu, bangsamu dan duniamu
Seluas dan setinggi mungkin
Ibarat tinggi terbangmu
Ita Disciplinam Entomologicam Agimus

Bogor, 3 September 2004

Antena

Bukan radio-tv saja
Serangga pun punya
Menjulur sepasang dari kepala
Antara dua mata
Bentuk beraneka
Penangkap pesan berita
Bermediasi unsur kimia fisika
Pertanda habitat, pakan
Kawan atau lawan
Bagi balig muda
Boleh jadi penerima berita
Agitasi kencan pertama
Lawan kelamin spesies sama

Bogor, November 2008

Semut Hitam di Jendela

Semut hitam berbaris maju
Bergerak runtut satu-satu
Meniti kusen jendela kaca
Menapak jejak kawan di muka
Tak hirau di luar jendela
Tuntaskan tugas kerja
Demi tugas bersama
Berpinak makmur sejahtera
Pengabdian tanpa ber-asa

Bogor, 22 Januari 2009

Serangga Predator dan Parasitoid

Pembantai sesama bangsa
Bukan algojo bukan genosida
Hanya meneruskan generasinya
Penimbang populasi buah pemekaran evolusi
Unsur ekosistem lestari

Bogor, 2 Februari 2009

Ngengat: Kupu Malam

Aku selalu keluar malam hari
Waktu suhu dan kelembaban memadai
Berbaju suram tidak menarik
Berbekal parfum pikat

Bukan mencari kenikmatan
Tidak tertarik dugem
Cuma mengikuti naluri
Berharap menggandeng kawan
Melanjutkan turunan

Bogor, 7 Februari 2009

Ulat Kantung Pagoda
(Pagodiella hekmeyeri)

Kau selalu berlindung
Dalam rumah kantung
Hanya sisa makan kau tinggalkan
Rupa jendela dan lubang daun
Tetapi orang terkagum
Mengamati bangun penutup kantung
Bentuk kerucut dasar lebar
Berlapis potongan kulit daun kecil besar
Bak atap pagoda tua

Satu pesona arsitektur serangga

Bogor, 10 Maret 2009

Capung

Terbang berkelompok di udara
Mengambang berbelok menukik
Tidak saling menyentuh dan menumbuk
Mengintai dan menangkap mangsa
Untuk bertahan hidup
Meneruskan generasi bersama

Indahnya kebebasan hidup
Tidak diganggu
Tidak saling mengganggu

Bogor, 10 Maret 2009

Ngengat Tengkorak
(Acherontia lachesis)

Ulat hijau muda berselempang kebiruan
Ekor tanduk kasar serupa huruf S
Berkepompong dalam bilik tanah
Beralih bentuk menjadi dewasa
Ngengat kekar corak gelap kuning
Belalai tergulung di bawah kepala
Pendek kuat dan runcing
Pengisap nektar dan madu lebah
Kedua sayap menyamping miring
Bak pesawat tempur bersayap delta
Aktif di malam gulita

Yang ganjil
Punggung terlukis muka tengkorak manusia
Menatap dingin siapa pun di depannya
Siapa yang dihantui
Atau cuma hiasan
Macam gambar sablon kaus kaum muda
Siapa pun tidak paham
Misteri sang pencipta

Bogor, 30 April 2009

Hijau

Zamrud batu permata hijau
Menghiasi jari cantik
Unjuk kekayaan dan keinginan
Bukan kebutuhan

Hijau daun dan sinar matahari
Membangun bahan keperluan makhluk
Mata rantai pertama jaringan hidup

Lalat kekar bertubuh hijau
Berkilat metal di siang hari
Pelahap bangkai dan bahan busuk
Mata rantai ekologi
Yang harus lestari

Bogor, Oktober 2009

Pijer

Pijer terbang malam
Masuk rumah tanpa salam
Membawa sepucuk pesan 
Tak terbaca
Tersirat di benak orang
Tamu mengetuk pintu depan
Kapan
Wallahu alam

Bogor, November 2009

Kunang dan Bintang

Di kegelapan malam
Sepanjang bibir parit dan pematang
Berpendar sinar berkedip
Dari tubuh kunang-kunang

Di kegelapan malam
Terpancar sinar kelap-kelip
Ribuan bintang-bintang
Dari balik awan berarakan

Kau yang berkedip di pematang
Kau yang berkedip di balik awan
Pesan apa yang kau ingin sampaikan

Bogor, Desember 2009

Kupu Nymphalid

"Cebol" anjing basset hound
Buang hajat di pagi hari
Waktu matahari menghangatkan bumi
Menebar bau busuk ke udara
Menusuk hidung orang lewat

Namun
Beberapa serangga ragam rupa
Menikmati bau dari sari tinja
Lalat hijau dan lalat lainnya
Tidak ketinggalan kupu nymphalid cantik
Berpola sayap menarik
Tak malu nimbrung

Ah
Perkara makan
Buruk cantik dungu cendekia
Selera bisa sama

Bogor, Desember 2009

***

Memasuki usia 80-an, puisi-puisi Pak Soemartono tak lagi ihwal serangga, melainkan sesuatu yang lebih bersuasana pribadi dan menyentuh nurani. Perhatikan puisinya di bawah ini

Sakit

Mengapa kau datang lagi
Tanpa salam tanpa permisi
Aku ingin bersembunyi
Kau selalu kuasa membuntuti
Mencari kesempatan
Di antara kelenaan waktu
Segar dan bugar

Bogor, Januari 2010

Bahkan, pada puisi terakhirnya yang diberi judul "10 Windu", ia seolah pasrah dengan usianya. Saya pun lama merenung, merenung lagi, mencoba memaknainya.

10 Windu

Tanpa tegur datang menyambut
Putih kapuk menyusup rambut
Langkah kaki mengayal
Sinar mata memajal
Hati tetap membisik
Tak usah toleh baya
Asuh ceria hati
Selalu ber-asa
Terus berkarya sekuasa
Menyongsong takdir mahakuasa

Bogor, Maret 2010

***

Pasca puisi yang terakhir itu, saya masih kerap berkomunikasi dengannya. Awalnya lewat SMS, lantas beralih ke WA. Bahkan, pada 15 Mei 2018 saya sempat bertandang ke rumahnya.

Selama pandemi Covid-19 (2020-2022), komunikasi sepenuhnya melalui WA. Yang terakhir kali berlangsung tanggal 14 Mei 2022.

"Selamat pagi Pak Soemartono, mohon izin saya dan istri ingin bersilaturahim ke rumah Bapak, sekitar pk.13-an", ujar saya berharap.

Tak lama berselang, ponsel saya bergetar, menandakan ada pesan masuk. 

"Maaf Bapak, eyangnya masih sakit", begitu sapa asistennya.

Belakangan saya baru tahu dari Bu Dewi bahwa pada hari itu, sejak pagi-pagi, Pak Soemartono harus masuk rumah sakit.

Saya pun urung berkunjung. Termenung dan merenung. Lantaran keesokan harinya, 15 Mei 2022, menjelang fajar, Bu Syafrida mem-forward berita duka di WAG Keluarga Besar PTN bahwa Pak Soemartono telah berpulang. Ia meninggal dunia pada usia 92 tahun. 

Prof. Dr. Ir. Soemartono Sosromarsono, M.Sc, guru kita semua, telah tiada selamanya, mewariskan keteladanan dalam kebersahajaan, ketekunan, dan keajegan. Alfatihah.

Referensi

Soemartono Sosromarsono. 2010. Sepuluh Windu Kumpulan Sajak. 21 h.


Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2025. Puisi-puisi Pilihan Buah Pena Soemartono Sosromarsono.  https://www.serbaserbihama.com/2025/11/puisi-soemartono-sosromarsono.html. Diakses tanggal (sebutkan).