Monday, December 29, 2025

Hari-hari Panjang Membersamai Ledakan Ulat Bulu dan Kumbang Tomcat

Awal tahun 2011 dan 2012 ulat bulu dan kumbang tomcat bergiliran menjadi magnet yang menyedot pemberitaan di koran dan televisi.

Aunu Rauf

Belasan tahun silam, kita sempat terhenyak oleh dua fenomena alam yang tak lazim. Ledakan populasi ulat bulu di Probolinggo dan kumbang tomcat di Surabaya. Meski kedua peristiwa itu telah lama berlalu, jejaknya masih membekas. 

Saya mencoba menapaki jejak itu dengan menelusuri informasi yang tersimpan dalam ponsel jadul, Nokia Xpress Music. Ponsel ramping berwarna hitam itu adalah yang pertama kali saya miliki. Baterainya kini sudah kembung, layarnya buram, tetapi ia tetap saya simpan sebagai bagian dari saksi bisu sejarah.

Di dalam ponsel itu, tersimpan 848 SMS di folder inbox dan 6.248 SMS di folder sent items. Rentang pesannya mencakup tahun 2010 hingga 2014, masa ketika WhatsApp belum dikenal luas. Saya membuka satu per satu pesan itu, mencari percakapan dan kepingan memori yang berkaitan dengan dua ledakan populasi serangga tersebut.

Penelusuran lewat ponsel itu saya lengkapi dengan menyisir guntingan koran, menonton kembali kopi tayang talk show, dan membuka berkas-berkas dokumentasi yang sempat saya arsipkan. Dari serpihan-serpihan itulah, tulisan berikut ini tersusun. 

Ledakan ulat bulu

Pada akhir Maret 2011, berbagai media cetak maupun elektronik gencar memberitakan terjadinya ledakan ulat bulu di Probolinggo (Gambar 1). Di kanal televisi tertentu ditayangkan lebih dari tiga kali sehari, dilengkapi dengan video laporan pandangan mata dari TKP.

Newspapper clipping on caterpillar.
Gambar 1. Guntingan koran yang memuat berita ledakan ulat bulu.

Kehebohan itu, sejatinya, bukan semata-mata karena tajuk pohon mangga yang gundul akibat daunnya habis dilahap ulat. Melainkan karena nuisance atau ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kehadiran gerombolan ulat.

Itu terjadi pada saat makanan (daun) di pohon mangga habis, dan ulat sudah siap berkepompong. Jutaan ulat pun berkeliaran mencari tempat terlindung untuk berkepompong. Mereka merayap di tembok, memanjat tiang, dan sebagian menyelinap masuk ke dalam rumah. 

Belum lagi fenomena “hujan ulat” yang terjadi saat ribuan ulat bergelantungan pada benang sutera, turun serempak dari tajuk mangga karena kelaparan atau hendak berkepompong. Tidak mengherankan bila banyak emak-emak memilih berjalan sambil menenteng payung kala melintas di bawah pohon mangga terserang.

Dari foto dan video yang beredar di televisi nasional, jelas terlihat bahwa ulat-ulat tersebut berasal dari famili Lymantriidae. Namun, spesiesnya masih menjadi misteri bagi semua orang.

Beruntung, di perpustakaan HPT saya menemukan sebuah buku tua “Uit Java’s Vlinderleven” [Cara Hidup Kupu-kupu Jawa], terbitan 1936 karya F. Dupont dan G. J. Scheepmaker. Di dalamnya tertulis bahwa ulat Lymantria marginata acap muncul secara massal dan mampu menggunduli pohon mangga hanya dalam satu minggu. 

Nah, berbekal informasi itu, saya menduga bahwa ulat yang menyerang mangga di Probolinggo mungkin adalah L. marginata. Ingatan saya pun melayang pada masa ketika, tiga dekade sebelumnya, saya mempelajari forest entomology di University of Wisconsin–Madison. Saya menyaksikan betapa dahsyatnya serangan Lymantria dispar di hutan-hutan berdaun lebar di AS.

Sementara itu waktu terus beringsut, ledakan ulat bulu di Probolinggo terus berlanjut. Media tampaknya tidak puas hanya dengan tayangan langsung. Mereka ingin mengupas lebih dalam apa sebenarnya yang terjadi.

Buktinya, pada pagi 29 Maret 2011, Pak Waluyo dari Kantor Humas IPB menelepon saya, menyampaikan bahwa nanti ada seseorang dari TVOne yang akan menghubungi. Rupanya pihak TVOne meminta narasumber, dan nomor ponsel saya diberikan oleh Humas. 

Benar saja, tak lama berselang ponsel saya berdering. Setelah diangkat, terdengar suara lembut dari seberang sana.

"Selamat pagi Pak Aunu Rauf. Saya Shinta dari TVOne, mohon izin untuk mengundang Bapak sebagai narasumber pada program talk show Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi. Besok pagi 30 Maret 2011, dengan topik ulat bulu," ujarnya.

Saya mengiyakan, dan beberapa menit kemudian sebuah pesan singkat masuk, berisi rincian waktu dan lokasi.

"Pukul 09.00 di Epicentrum Walk Mall, Komplek Rasuna Epicentrum, Jalan Rasuna Said Kuningan, di belakang Rumah Sakit MMC. Ketemu besok ya pak," pungkasnya

Untuk menghindari kemacetan di Kuningan, saya berangkat dari rumah di Bogor selepas salat subuh, pukul 05.00, dan tiba di lokasi sekitar pukul 06.30.

Acara dimulai dengan laporan pandangan mata dari jurnalis TVOne langsung dari Probolinggo. Saya sempat menghela napas panjang saat menyaksikan tayangan jutaan ulat bulu merayap di halaman rumah warga. 

Ketika diberi kesempatan berkomunikasi dengan jurnalis tersebut, saya meminta ia menanyakan kepada warga setempat apakah fenomena seperti itu pernah terjadi sebelumnya.

"Sama sekali belum pernah," tukasnya menirukan jawaban warga.

Setelah liputan lapangan, acara berlanjut ke sesi talk show yang menampilkan narasumber tunggal. Seorang “pakar ulat bulu dadakan” (Gambar 2). 

Aunu Rauf on a talk show in TVOne
Gambar 2. Tangkapan layar program talk show "Apa Kabar Indonesia Pagi" di TVOne..

Sore harinya, sebuah pesan dari Pak Soemartono masuk ke ponsel saya.

"Saya tadi pagi menyaksikan talk show. Baik, hanya waktunya kurang," ujarnya.

Apresiasi dari Pak Soemartono tadi tentunya sangat membesarkan hati. Apa lagi itu adalah kali pertama saya "masuk" televisi.

Pada kenyataannya, saat talk show tersebut berlangsung, saya belum benar-benar yakin tentang spesies ulatnya. Dugaan Lymantria marginata saya sandarkan semata pada uraian dalam buku “Uit Java’s Vlinderleven”.

Dua hari berselang, 1 April, pesan singkat datang dari Prof. Dantje Sembel (UNSRAT). Ia menulis bahwa ia sedang berada di lapangan, di Probolinggo. Ia menambahkan bahwa sebagian ulat sudah berkepompong, bahkan ada yang telah menjadi ngengat.

"Warna sayapnya putih polos," imbuhnya.

Sontak, dugaan saya runtuh. Pasalnya, ngengat L. marginata memiliki sayap bercorak putih-cokelat, seperti guratan batik. Saya pun semakin penasaran.

***

Menyaksikan begitu berseliwerannya pemberitaan tentang ulat bulu di media massa baik cetak maupun elektronik, saya tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak terjun ke TKP. 

Pada tanggal 4 April, bersama Pak Yayi (Dr. Yayi M Kusumah), subuh-subuh kami berdua berangkat dari Terminal Damri Baranangsiang menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk mengejar pesawat Garuda yang terbang pukul 7.00 ke Surabaya.

Pesawat tiba di Bandara Juanda sekitar pukul 9.30. Seingat saya, kami berdua dijemput Pak Surya Sumantri dari Petrokimia Kayaku. Selanjutnya dia mengantar kami untuk kulo nuwun ke Kantor Dinas Pertanian Probolinggo.

Dari sini, bersama pak Widagdo--koordinator fungsional UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Jatim--, kami meluncur ke TKP. Sambil melangkah menuju pekarangan warga, saya menyapukan pandangan ke sekeliling. 

Tampak pohon-pohon mangga menjulang tinggi, meranggas tanpa menyisakan sehelai daun pun (Gambar 3). Selama berjalan menyusuri pohon mangga terserang, beberapa stasiun televisi ikut mendampingi. Di antaranya TVOne, SCTV, Indosiar, dan Trans 7.

Mango trees heavily defoliated by caterpillars.
Gambar 3. Pepohonan mangga yang gundul akibat serangan berat ulat bulu (Foto: Aunu Rauf).

Meski kelimpahan ulat sudah mulai menurun dibandingkan minggu-minggu sebelumnya, saya masih sempat menyaksikan ulat-ulat yang merayap pada batang pohon dan bergelantungan pada tajuk. Tampak pula ulat yang merayap di dinding rumah mencari tempat untuk berkepompong. 

Ulat tampak ditumbuhi rambut-rambut halus yang tersebar secara acak, berwarna abu-abu. Sepanjang punggung terdapat corak warna yang lebih pucat. Di bagian belakang kepala terdapat garis-garis hitam dan pita oranye, serta sekumpulan bulu  yang lebih panjang dan gelap yang mengarah ke atas. Ulat-ulat dewasa berukuran sekitar 30 mm (Gambar 4). 

Larva of Arctornis submarginata.
Gambar 4. Ulat Arctornis submarginata (Foto: Yayi M Kusumah)

Meski begitu, sebagian besar ulat sudah memasuki fase kepomponng. Mereka menempel pada permukaan bawah dedaunan seperti mangga, pisang, kersen, dan lainnya (Gambar 5). Bahkan juga pada langit-langit rumah bagian luar. 

Kepompong berbentuk bulat lonjong, berukuran 15 mm, berwarna hijau, dan telanjang, serta menggantung pada permukaan bawah daun dengan bantuan kremaster.

Pupae of Arctornis submarginata.
Gambar 5. Pupa Arctornis submarginata menempel pada permukaan bawah daun mangga (Foto: Aunu Rauf)

Pada saat kunjungan lapangan itu, sebagian kecil kepompong sudah berubah jadi ngengat. Di sana-sini kami menemukan beberapa ekor ngengat bertengger pada permukaan batang atau dedaunan (Gambar 6). Warna sayapnya putih mengkilap, dengan bintik hitam yang tak terlalu kentara pada sayap depan. Rentang sayapnya sekitar 32 mm.

Moth of Arctornis submarginata.
Gambar 6. Ngengat Arctornis submarginata (Foto: Aunu Rauf)

Ngengat dengan pola warna seperti itu mengingatkan saya pada sebuah paragraf pendek di halaman 628 buku Kalshoven edisi asli berbahasa Belanda (1951). Sebuah kutipan yang dulu hanya saya lalui sepintas. 

"Redoa submarginata Wlk. is als rups gevonden op mangga en Cinnamomum bij Buitenzorg. De vlinders, geheel glanzend wit met een stip op de voorvleugel, gelden voor de verzamelaars als gewoon. De soort heeft een grote verspreiding over Zuid-Oost-Azie."

Yang artinya dalam bahasa Indonesia:

"Redoa submarginata Wlk. ditemukan sebagai ulat pada pohon mangga dan Cinnamomum di Buitenzorg. Ngengat-ngengatnya ini, yang sepenuhnya berwarna putih mengkilap dengan bintik di sayap depan, dianggap biasa oleh para kolektor. Spesies ini memiliki penyebaran yang luas di Asia Tenggara."

Catatan yang lebih lawas lagi, saya temukan pada monograf "Tweede Overzicht der Schadelijke en Nuttige Insecten van Java" [Ringkasan Kedua Serangga Berbahaya dan Bermanfaat dari Jawa] terbitan 1908 karya JC Koningsberger. Di dalamnya disebutkan bahwa ulat Leucoma submarginata tercatat memakan daun berbagai varietas mangga. 

Memang begitu adanya, Redoa submarginata sebelumnya dikenal sebagai Leucoma submarginata. Dan dalam nomenklatur teranyar, ia berganti nama menjadi Arctornis submarginata.

Berbekal jejak pustaka itu, saya meyakini bahwa ulat yang menyerang mangga di Probolinggo tak lain adalah Arctornis submarginata. Ia jelas bukan spesies baru. Namun, jika ada yang menyebutnya sebagai hama baru, itu pun tak keliru.

Sebab selama lebih dari seabad, ia tak pernah dilaporkan sebagai hama mangga. Buktinya, monograf "Een Beknopt Overzicht van de Plagen van de Mangga" [Ringkasan Singkat Tentang Hama Mangga] terbitan 1941 karya Dr. CJH Franssen sama sekali tidak menyinggung ulat Leucoma, Redoa, atau Arctornis submarginata.

Seharian penuh kami blusukan dari satu pekarangan ke pekarangan lain, mengumpulkan sampel ulat, pupa, dan ngengat. Anak-anak kampung ikut membantu (Gambar 7), berlomba-lomba menemukan pupa dan memasukkannya ke dalam botol plastik bekas air mineral (Gambar 8). 

Children collecting pupae.
Gambar 7. Anak-anak sedang mengumpulkan pupa Artctornis submarginata (Foto: Aunu Rauf)

Collected pupae.
Gambar 8. Pupa yang terkumpul disimpan sementara dalam botol bekas air mineral (Foto: Aunu Rauf).

Menjelang sore, ketika cahaya matahari mulai meredup di balik tajuk mangga yang gundul, kami memutuskan kembali ke hotel.

Sesampainya di sana, Pak Yayi segera menata hasil temuan kami. Ngengat-ngengat yang masih hidup dipindahkannya ke dalam kurungan kasa yang sengaja ia bawa dari Bogor. Sementara ulat dan pupa masing-masing ditempatkan terpisah agar mudah diamati perkembangannya.

Sebagai seseorang yang disertasinya di Clemson University (AS) tentang virus NPV, memelihara ulat adalah pekerjaan sehari-harinya. 

Keesokan paginya, 5 April 2011, kami berdua duduk santai menikmati sarapan di sudut kecil restoran hotel. Suasana tenang, sampai tetiba Pak Yayi memecah keheningan dengan mengatakan:

“Pak Aunu, tadi malam di hotel ada yang melakukan perbuatan tak senonoh.” 

Saya sontak tersentak, pikiran langsung membayangkan hal yang bukan-bukan . Namun sebelum bayangan itu membentuk cerita lengkap, ia buru-buru menambahkan:

“Ngengat-ngengat yang kemarin kita tangkap, tadi malam pada bertelur dalam kurungan di kamar.”

Saya menghela napas. Ooh, rupanya ia sedang berkelakar. Pak Yayi mah memang sehari-harinya dikenal osok ngabodor.

Ia lalu mengeluarkan kurungan itu dari kamarnya dan memperlihatkan deretan butiran telur yang menempel rapi pada permukaan kain kasa. Warnanya kehijauan, bentuknya bulat pipih dengan cekungan di tengah, berukuran tak lebih dari setengah milimeter diameter (Gambar 9). 

Eggs of Arctornis submarginata.
Gambar 9. Telur Arctornis submarginata pada permukaan kain kasa (Foto; Aunu Rauf).

Selesai sarapan, kami bergegas meninggalkan hotel dan meluncur menuju Bandara Juanda, Surabaya. Tak lupa kami menenteng “oleh-oleh” yang berupa ulat, pupa, dan  ngengat A. submarginata, untuk dibawa pulang ke Bogor sebagai bahan pengamatan lanjutan.

Di tengah perjalanan, ketika taksi melaju membelah panas pagi, ponsel saya tetiba berdering. Sebuah pesan singkat muncul di layar.

“Teman Metro TV dan Trans TV meluncur ke Bandara. Bapak nanti dimohon tidak check-in dulu karena kawan-kawan nggak bisa masuk. Terima kasih.” 

Saya terpaku sejenak. Rupanya liputan media belum selesai mengikuti jejak kami. Setibanya di bandara, benar saja, beberapa kru televisi sudah menunggu di luar area check-in. Kami pun mengalihkan langkah menuju halaman parkir. 

Di sana, wawancara berlangsung bergantian. Kru Metro TV dan Trans TV menyorotkan kamera, sementara awak Koran Tempo dan media lokal mencatat penjelasan demi penjelasan mengenai ulat bulu Probolinggo. 

Begitulah akhir perjalanan kami hari itu. Pulang ke Bogor tak hanya membawa sampel serangga, tetapi juga membawa pulang berbagai jejak liputan media.

***

Tanggal 8 April, tiga hari setelah kami kembali dari Probolinggo, ponsel saya bergetar pagi-pagi sekali. Sebuah pesan singkat muncul di layar.

“Selamat pagi Bapak Aunu, saya Hanny Metro TV. Mohon izin mengundang Bapak menjadi narasumber di Metro TV hari ini pukul 11.30 dalam acara 'Metro Siang', di Studio Metro TV Kedoya, membicarakan wabah hama ulat bulu. Apakah Bapak bisa?. Mohon konfirmasinya. Terima kasih.”

Saya mengiyakan. Dan, sekitar pukul sembilan, seorang kru Metro TV bernama Pak Andri menjemput saya menuju Kedoya untuk tampil dalam program tersebut. Hari itu belum selesai. Malamnya saya kembali diwawancarai. Kali ini giliran Radio Elshinta.

Lima hari berikutnya, pesan singkat berdatangan dari berbagai media. Kompas, Metro Jatim, Suara Pembaruan, RRI, Kantor Berita Radio 68H, Trubus, Pikiran Rakyat, Brava Radio 103.8 FM, Jakarta Globe, Metro TV, Detik.com, Tabloid Kontan, Republika, dan Indopos. Seakan-akan para wartawan memiliki grup tersendiri untuk bertukar nomor ponsel saya. 

Sekitar seminggu setelah kembali ke Bogor, perhatian saya beralih lagi ke meja laboratorium. Pupa yang kami bawa dari Probolinggo mulai menunjukkan hasil pengamatan. Warnanya gelap, pertanda pupa itu terparasit. Parasitoid yang paling banyak  muncul adalah tabuhan Brachymeria sp. (Gambar 10).

Parasitoid Brachymeria and its pupal host.
Gambar 10. Parasitoid Brachymeria sp. muncul dari pupa (Foto: Aunu Rauf)

Selain itu, sebagian pupa lainnya menunjukkan gejala terinfeksi cendawan Paecilomyces sp. Permukaannya memutih, terselubung miselium halus seperti kapas tipis (Gambar 11). Temuan-temuan ini memberi gambaran jelas bahwa peningkatan populasi ulat bulu itu diikuti pula oleh peningkatan musuh alaminya. 

Healthy and fungus infected pupae.
Gambar 11. Pupa sehat (kanan) dan yang terinfeksi cendawan (kiri) (Foto: Yayi M Kusumah).

Beberapa hari berselang, tepatnya 13 April sekitar pukul 14 siang, saya menerima telepon dari TVOne. Mereka meminta saya kembali mengisi talk show "Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi" untuk tayang tanggal 14 April. Setelah saya menyatakan kesediaan, sebuah pesan singkat segera menyusul.

“Ini dari Nanda TVOne. Prof, confirm ya besok pukul 8.30 di Epicentrum. Kalau ada contoh ulat bulu seperti kemarin boleh tolong dibawa.”

Esok paginya, pukul lima, mobil jemputan TVOne sudah tiba di depan rumah. Ini menjadi kunjungan kedua saya ke TVOne dalam rentang dua minggu. Kali ini saya membawa contoh parasitoid Brachymeria sp. sebagai materi edukasi untuk siaran.

Selesai talk show sekitar pukul 10, saya langsung bergerak pulang menuju Bogor. Di Tol Jagorawi, ponsel saya kembali berdering. Kali ini dari sejumlah wartawan media cetak yang meminta kesempatan wawancara. Mereka janjian nunggu di halaman depan Kampus IPB Baranangsiang. Setelah memenuhi permintaan wawancara itu, saya melanjutkan perjalanan menuju Kampus IPB Darmaga.

Ketika pulang dari kampus ke rumah di Perumahan Bogor Baru melalui Jalan Soleh Iskandar, telepon kembali berdering. Metro TV menghubungi saya dan meminta saya tampil dalam "Primetime News" sore itu juga, 14 April, pada jam tayang utama pukul 17.30. Awalnya saya menolak. Rasa lelah mulai menghampiri. Namun, sang penelpon dengan halus membujuk, menyebut bahwa banyak orang yang ingin tampil di "Primetime News" dan kesempatan ini sebaiknya tidak dilewatkan. Saya pun akhirnya luluh.

Tak lama setelah menyetujui permohonan itu, sebuah pesan singkat menyusul:

“Suara Anda Metro TV mengundang dengan hormat Bapak Prof. Aunu Rauf untuk hadir sebagai narasumber malam ini Kamis 14 April 2011 pukul 19.30–20.30 WIB. Topik: Wabah ulat bulu. Narasumber lain: Menteri Pertanian. Tempat: Studio 1 Metro TV Kedoya. Thanks, Neni.”

Sejenak saya sempat bingung. Pasalnya, program yang tadi saya setujui adalah "Primetime News" pukul 18.00, tetapi mengapa tiba-tiba berubah jadi "Suara Anda".  

Belakangan saya baru sadar. Rupanya Metro TV juga mengangkat isu ulat bulu dalam program "Suara Anda", dengan narasumber Menteri Pertanian. Dan, mumpung saya sudah berada di stasiun televisi itu sejak sore, mereka meminta saya sekalian bergabung dalam acara kedua tersebut.

Jadilah sore itu saya tampil di "Primetime News" (Gambar 12). Dan, setelah beristirahat sejenak dan berganti baju batik, lalu malamnya kembali naik ke studio untuk "Suara Anda" (Gambar 13). 

Aunu Rauf on "Primetime News" program.
Gambar 12. Tangkapan layar program talk show "Primetime News" di Metro TV.

Aunu Rauf on "Suara Anda" program.
Gambar 13. Tangkapan layar program talk show "Suara Anda" bersama Menteri Pertanian di Metro TV.

Dalam satu hari itu, saya mengisi tiga acara live di televisi. Semuanya membahas soal ulat bulu. Tak heran bila tanggal 14 April itu menjadi hari terpanjang dari hari-hari panjang yang saya jalani selama wabah ulat bulu.

Di luar itu, pada hari yang sama, saya masih menerima permintaan wawancara dari Media Indonesia dan TransTV. Tak berhenti sampai di situ. Sepuluh hari kemudian saya hadir dalam diskusi pagi di Kementerian Lingkungan Hidup (25 April), disusul pelatihan pengendalian ulat bulu bagi petugas Balai Proteksi Tanaman (BPT) DKI Jakarta pada 26 April.

***

Blusukan saya bersama Pak Yayi ke TKP di Probolinggo--yang tanpa disadari diliput oleh berbagai stasiun televisi--rupanya menarik perhatian pimpinan IPB. Terlebih lagi setelah Wakil Rektor II mengetahui bahwa blusukan tersebut dilakukan atas biayai sendiri.

Di saat yang sama, keresahan warga terhadap serangan ulat bulu kian meluas di berbagai wilayah Jawa. Menyadari urgensi situasi tersebut, IPB merespons dengan menyediakan dana bagi Departemen Proteksi Tanaman (PTN) untuk melaksanakan safari klinik tanaman. Kegiatannya mencakup survei ulat bulu serta pemasyarakatan terkait perikehidupan dan cara pengendaliannya.

Departemen PTN pun segera membentuk sebuah tim yang terdiri atas Dr. Teguh Santoso (almarhum), Dr. Idham S. Harahap, Dr. Nina Maryana, Dr. Ali Nurmansyah, Dr. Ruly Anwar, Dr. Yayi M. Kusumah (almarhum), Dr. Dewi Sartiami, Dr. Kikin H. Mutaqin, dan saya sendiri.

Safari klinik tanaman dimulai dengan survei ulat bulu di wilayah DKI Jakarta pada 20 April, yang dilakukan oleh Bu Nina dan Bu Dewi. Saya masih ingat, selepas magrib keduanya sempat mampir ke rumah sambil hariweusweus menceritakan temuan-temuan lapangannya.

Inisiatif lain berupa Studium Generale yang dilaksanakan pada 6 Mei 2011 di salah satu ruang kuliah Departemen PTN. Topiknya tentu saja seputar ulat bulu. Acara ini diikuti oleh 120 mahasiswa, dengan pembicara Bu Dewi, Pak Yayi, dan saya.

Sementara itu, pada 11 dan 12 Mei, Pak Ali Nurmansyah bersama laboran Pak Wawan Yuandi serta Fajar Sidiq Al Afghani, mahasiswa S1 bimbingan Dr. Sugeng Santoso, melakukan survei dan kegiatan pemasyarakatan ulat bulu di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mereka mengendarai mobil Klinik Tanaman dan terus melaju ke arah timur hingga Probolinggo untuk bergabung dengan tim lain yang berangkat langsung dari Bogor pada 13 Mei.

Setibanya di Probolinggo, malam harinya digelar Seminar Ulat Bulu sekaligus Temu Alumni HPT Jawa Timur, yang dihadiri oleh 64 alumni. Selain saya, seminar tersebut juga menampilkan paparan dari Pak Widagdo Hendaruddin dari UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Jawa Timur.

Keesokan harinya, kami melanjutkan survei serta melaksanakan klinik tanaman, termasuk penyerahan lampu perangkap dan wadah plastik untuk pengumpulan parasitoid kepada instansi terkait (Gambar 14).

Preparation of light trap.
Gambar 14. Pak Teguh Santoso dan Pak Yayi M Kusumah, keduanya almarhum, tengah menyiapkan lampu perangkap dan kurungan parasitoid untuk dibagikan ke instansi pertanian terkait.

***

Sekitar sebulan setelah hiruk-pikuk ledakan ulat bulu di Probolinggo mulai reda, sebuah pesan singkat tiba-tiba muncul di ponsel saya pada pagi 30 Mei 2011. Nomor pengirimnya tak dikenal. Namun isinya membuat saya seketika tersentak.

 "Selamat pagi Prof., saya Letkol dr. Sudarsono M.Kes (bukan nama sebenarnya) dari Mabes TNI. Izin, apa saya boleh menelpon Prof.? Terima kasih atas perkenannya."

Saya sama sekali tidak tahu bagaimana ia memperoleh nomor saya. Pertanyaan itu berkelebat di kepala, tetapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Saya mengizinkannya. Beberapa menit kemudian, ponsel saya berdering. Suaranya tegas, tanpa basa-basi, langsung meminta waktu untuk bertemu.

Keesokan harinya, sesuai janji, ia muncul di Kampus IPB Darmaga. Kami memilih ruang Ketua Departemen sebagai tempat berdiskusi. Ini lantaran kamar kerja saya, seperti biasanya, berantakan dipenuhi buku-buku dan berkas lainnya. 

Ia mengawali diskusi dengan memperkenalkan diri sebagai perwira berpangkat letnan kolonel, bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN). Lalu ia mengutarakan bahwa maksud kedatangannya untuk memastikan bahwa ledakan ulat bulu yang menggegerkan Probolinggo itu benar-benar fenomena alam, bukan sesuatu yang direkayasa. 

Saya pun mencoba memberi penjelasan kepadanya. Sejelas-jelasnya. Dari dinamika populasi ulat bulu hingga peranan musuh alami yang mengatur keseimbangannya. Ia mendengarkan dengan serius, sikap khas seorang militer yang paham betul apa konsekuensinya jika sebuah sistem pertahanan alami terganggu. Saya juga memaparkan bahwa serangga ini tersebar luas di berbagai negara di Asia Tenggara.

Sekitar satu jam kami berdiskusi. Menjelang akhir pertemuan, ia mengajukan satu permintaan, bukti bahwa ulat ini benar-benar spesies asli Indonesia. Saya tak punya banyak pilihan. Satu-satunya bukti otentik yang dapat saya berikan adalah satu paragraf pada halaman 628 dari buku Kalshoven, edisi asli berbahasa Belanda, terbitan 1951. Saya menyerahkan selembar fotokopian yang sudah mulai pudar tintanya.

Belakangan, kekhawatiran BIN itu dapat saya pahami. Pasalnya, penyakit seperti malaria dan antraks pernah digunakan sebagai senjata biologis. Bahkan pada Perang Dunia II, beberapa jenis serangga, termasuk kumbang kentang, Leptinotarsa decemlineata, sempat dipertimbangkan sebagai instrumen perang. Konon, pada awal 1940-an, Amerika Serikat bahkan memiliki unit khusus yang dikenal sebagai Entomological Warfare Department.

Dalam konteks seperti itu, tidak mengherankan jika ledakan ulat bulu di Probolinggo sempat menyentuh sisi kewaspadaan intelijen negara.

###

Ledakan kumbang tomcat

Setahun berselang, tepatnya pada akhir Maret 2012, hari-hari panjang itu kembali terulang. Kali ini, media massa baik cetak maupun elektronik ramai memberitakan ledakan kumbang tomcat di sejumlah wilayah di Jawa Timur (Gambar 15). 

Newspaper clipping on Paederus beetle.
Gambar 15. Guntingan koran ihwal ledakan kumbang tomcat.

Saya sendiri tak tahu persis darimana datangnya julukan kumbang tomcat itu. Sangat boleh jadi awalnya terlahir dari ruang-ruang percakapan warganet. Barangkali karena tubuhnya yang ramping dan memanjang, mengingatkan pada siluet pesawat tempur F-14 Tomcat milik Angkatan Udara AS. 

Berbeda dengan ledakan ulat bulu pada 2011 yang memaksa saya menyambangi TKP, ledakan kumbang tomcat tidak demikian halnya. Ini lantaran saya cukup paham dengannya. Bahkan, beberapa mahasiswa bimbingan saya penelitiannya tentang kumbang tomcat. 

Hari-hari panjang tahun 2012 itu bermula ketika suatu pagi tanggal 20 Maret 2012, saya menerima pesan singkat dari Pak Waluyo, staf Humas IPB. 

 “Serombongan wartawan sedang menuju ke rumah Bapak,” ujarnya. 

Pesan itu singkat, tetapi maknanya jelas. Saya tak merasa perlu bertanya lebih jauh. Terbersit dalam benak saya, ini pasti tak jauh-jauh dari perkara kumbang tomcat. 

Benar saja. Sekitar pukul 8.30 pagi, belasan wartawan cetak dan elektronik berdatangan ke rumah. Meski saat itu, ponsel belum lazim dilengkapi fitur GPS, mereka tampaknya tak kesulitan menemukan letak rumah saya. Boleh jadi karena rumah saya satu blok dengan rumah Ki Gendeng Pamungkas. Siapa sih wartawan di Bogor yang tak mengenal paranormal beken itu ?.

Ketika para wartawan tiba, saya masih duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan pagi. Dari dalam rumah, saya mendengar suara riuh dari pelataran. Mereka tidak sekadar menunggu. Dengan suara lantang dan penuh canda, mereka menyanyikan lagu "Iwak Peyek" yang kala itu lagi ngetop-ngetopnya. 

        Iwak peyek, iwak peyek
        Iwak peyek nasi gule
        Sampek tuek, sampek nenek
        Trio Macan tetap oke
        Hoo-hoo-hoo-hoo

Begitulah potongan lirik itu didendangkannya berulang kali dengan riangnya. Seolah sejenak menanggalkan beban dalam diri mereka. Setidaknya, pada pagi itu. 

Selesai sarapan, saya bergegas menemui mereka di teras rumah. Di sanalah, dalam suasana santai, saya mulai berkisah panjang lebar tentang kumbang tomcat.

Saya mengutarakan bahwa kumbang tomcat, yang nama ilmiahnya Paederus fuscipes, adalah serangga predator. Kumbang ini banyak dijumpai di sawah, dan merupakan musuh alami dari hama-hama padi. 

Pada siang hari, kumbang ini bergerak lincah menyusuri rumpun-rumpun padi, memburu mangsanya, termasuk wereng cokelat yang kerap meresahkan petani.  

Bagi petani yang sehari-harinya hidup bersentuhan dengan sawah, tomcat bukan makhluk asing, apalagi menakutkan. Sebaliknya, ia dikenal sebagai serangga yang berjasa karena membantu menjaga keseimbangan ekosistem pertanian. 

Bagi masyarakat umum, saya merasa perlu menggarisbawahi bahwa mereka tidak perlu panik berlebihan. Tomcat tidak datang ke permukiman untuk menyerang manusia. Ia tidak menggigit, juga tidak menyengat. 

Kehadirannya di rumah-rumah semata-mata karena tertarik pada cahaya lampu. Ketika musim panen tiba dan rumpun padi ditebas, serangga-serangga ini terusik, berterbangan, lalu mengikuti sumber cahaya menuju kawasan permukiman.

Para wartawan tampak menikmati "kuliah singkat" saya, terutama ketika mendengar bahwa kumbang tomcat sejatinya adalah teman petani.yang membantu pengendalian hama di sawah. 

Saya tak sempat mencatat satu per satu dari media mana saja mereka berasal. Namun, belakangan saya menyaksikan wawancara pagi itu tayang di sejumlah televisi nasional. Di antaranya Indosiar, RCTI, dan Trans 7 (Gambar 16).

Aunu Rauf on television.
Gambar 16. Tangkapan layar wawancara kumbang tomcat.

Usai liputan televisi pagi itu, sore harinya ponsel saya nyaris tak berhenti bergetar. Pesan singkat berdatangan, berisi permintaan wawancara dari berbagai koran dan majalah. Ada Kompas, Tempo, Pikiran Rakyat, Antara, Jurnal Bogor, Radar Bogor, hingga Pakuan Raya. Bahkan majalah Bobo pun ikut menghubungi. 

Untungnya, saya sudah menyiapkan semacam press release. Tinggal klik, lalu kirim lewat email. Praktis dan sangat menolong di tengah derasnya permintaan wawancara. 

Keesokan harinya, 22 Maret 2012, ponsel kembali berdering. Dari seberang, seseorang memperkenalkan diri dari TVOne dan menanyakan kesediaan saya menjadi narasumber program Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi.

Saya mengiyakan. Tak lama kemudian, konfirmasi resmi menyusul lewat pesan singkat.

"Selamat siang Pak. Aku Widie dari TVOne yang tadi telepon. Trims atas kesediaan hadir besok pagi pukul 07.00 di Wisma Nusantara Thamrin. Kira-kira besok mau dijemput dimana ?. Kami juga berterima kasih bila Pak Prof. bisa membawa serta tomcatnya."

Karena ada permintaan untuk membawa spesimen, saya lantas meminta bantuan Pak Wawan Yuandi--seorang laboran handal--untuk mencarikan beberapa ekor kumbang tomcat dari persawahan di sekitar kampus IPB Darmaga.

Sesuai janji, keesokan paginya, sekitar pukul lima, saya dijemput oleh tim TVOne. Seingat saya, acara talk show itu digelar secara outdoor, di pinggir jalan depan Wisma Nusantara. Orang-orang berlalu-lalang, sebagian berhenti sejenak, menyaksikan perbincangan tentang serangga kecil yang tengah menjadi buah bibir nasional.

Di tengah perjalanan pulang ke Bogor, sebuah pesan singkat masuk. Dari Kompas TV. Isinya permintaan kesediaan untuk mengisi talk show. Dengan berat hati, permohonan itu tak dapat saya penuhi. Bukan karena enggan, melainkan karena saat itu saya tengah disibukkan dengan persiapan keberangkatan ke AS.

Karena itu, saya mengalihkan permintaan tersebut kepada Pak Dadan (Dr. Dadan Hindayana), kolega yang memang lama menekuni serangga predator. Kini ia menjabat sebagai Kepala Badan Gizi Nasional (BGN). Setidaknya, soal predator--termasuk kebutuhan gizinya--ia sangat paham.

Pada 25 Maret, menjelang sore sebelum berangkat ke Bandara, pesan singkat kembali masuk. Kali ini dari Berita Satu TV, mengundang saya sebagai narasumber Program Jurnal Utama pada Senin, 26 Maret, pukul 06.30 pagi.

Permintaan itu sudah tentu tak mungkin saya penuhi. Pada tanggal dan jam tersebut, saya tengah berada di angkasa, dalam penerbangan menuju Memphis, Tennessee, AS.

Bahkan, selama perjalanan pada 26 Maret itu, pesan-pesan masih terus berdatangan. Radio MQFM Jogja dan Radio Trijaya FM Jakarta, keduanya meminta wawancara live on air. Dengan segala hormat dan permohonan maaf, tak satu pun dapat saya penuhi. 

***

Sore 26 Maret, saya mendarat di Memphis International Airport, AS, setelah sebelumnya transit di Los Angeles. Perjalanan panjang lintas benua itu cukup menguras energi. 

Setibanya di hotel, baru saja merebahkan badan di atas kasur, ponsel kembali berdering.

"Selamat malam Prof. Aunu. Saya Zakir, korespoden Straits Times. Bisa kita dapat komen Prof secara ringkas mengenai tomcat outbreaks baru-baru ini. Thanks," ujarnya.

Saya sampaikan kepada wartawan dari Singapura itu bahwa saya sedang berada di AS, dan mempersilakan pertanyaan disampaikan melalui email. Tak lama kemudian, sebuah email masuk berisi sejumlah pertanyaan. Saya menjawabnya satu per satu. Rupanya, ledakan kumbang tomcat di Surabaya telah menyeberangi batas negara dan menarik perhatian media di negeri berjuluk Kota Singa itu.

Malam kian larut. Namun ketenangan tak juga datang. Ponsel kembali bergetar. Kali ini dari pengirim yang berbeda.

"Pak Aunu Rauf, ijin telepon. Saya Siska dari Media Indonesia. Terima kasih," tulisnya.

Saya kembali menjelaskan bahwa saya sedang berada di AS. Beberapa menit kemudian, pesan lanjutan menyusul.

“Pak, rencananya kami ingin mengangkat profil Bapak untuk halaman 'Kiprah' kami, terbit Rabu depan. Apakah Bapak berkenan diwawancarai, seputar awal mula terjun di dunia serangga, ketertarikan Bapak, kegiatan Bapak, dan sebagainya?”

Saya mengiyakan. Malam itu juga, di kamar hotel yang sunyi, saya menyiapkan butir-butir penting sesuai yang diminta. Tanpa menunggu waktu lama, jawaban saya kirimkan melalui email. Jarak ribuan kilometer tak menjadi penghalang, teknologi menjembatani percakapan.

Kehadiran saya di AS sejatinya untuk berpartisipasi dalam 7th International IPM Symposium yang berlangsung pada 27–29 Maret 2012 di Memphis, Tennessee. Sebagai bagian dari proyek IPM-CRSP, saya diundang untuk memaparkan dua topik pada hari yang berbeda. Pertama IPM Tactics for Vegetable Crops in Indonesia, dan kedua Technology Transfer Through Farmer Field School in Indonesia.

Meski begitu, urusan tomcat terus membuntuti. Pada 28 Maret, saat simposium masih berlangsung, pesan singkat kembali masuk. Kali ini dari majalah Femina yan meminta waktu untuk wawancara tentang kumbang tomcat. Dengan segala keterbatasan, permintaan itu tak dapat saya penuhi. 

Simposium ditutup secara resmi menjelang siang tanggal 29 Maret. Sorenya, dengan menumpang shuttle bus, saya bersama sejumlah peserta simposium lain berkunjung ke Museum Elvis Presley (Gambar 17), yang memang terletak di kota Memphis. Museum ini dulunya adalah rumah tempat tinggal Elvis Presley dari tahun 1958 hingga kematiannya pada tahun 1977. 

House of Elvis Presley.
Gambar 17. Penampakan dari arah luar rumah mendiang Elvis Presley di Memphis (Foto: Aunu Rauf).

Memasuki bangunan milik Sang Raja Rock and Roll itu, saya menyusuri hampir seluruh ruangannya. Dari ruang tamu dan dapur, hingga kamar tidur pribadi Elvis, tak terkecuali Jungle Room. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah ruangan dengan dekorasi bergaya Polinesia, karpet hijau tebal, perabotan berukir, serta air terjun buatan di dalam ruangan. Pada dekade 1970-an, ruang ini berfungsi sebagai studio rekaman rumah.

Di beberapa sudut lain, terpajang beragam benda kenangan milik Elvis Presley. Penghargaan berupa piringan emas dan platina berjajar rapi, sementara pakaian panggungnya dipamerkan di balik lemari kaca (Gambar 18). .

Elvis Presley's award collection room.
Gambar 18. Deretan penghargaan dan pakaian panggung Elvis Presley yang dipajang di lemari kaca (Foto: Aunu Rauf).

Di ruang khusus, saya juga menyaksikan koleksi berbagai kendaraan pribadinya. Ada Cadillac, Rolls-Royse, BMW, Mercy, dan motor Harley Davidson.

Di sisi pojok rumah, terdapat makam Elvis Presley. Konon, sebelum wafat pada 16 Agustus 1977, ia berwasiat agar dimakamkan tak jauh dari rumahnya. 

Tak jauh dari situ, di area halaman, dipamerkan dua pesawat pribadi yang dulu ia gunakan untuk bepergian ke lokasi pertunjukan. Pada masanya, Elvis Presley tercatat sebagai satu-satunya penyanyi yang memiliki pesawat pribadi. 

Ketika menulis bagian ini, sebuah pertanyaan iseng melintas di benak saya.  Adakah hubungan antara Elvis Presley dan dunia serangga?. Rasa ingin tahu itu mendorong saya mengetikkan kata kunci “Elvis Presley insects” di mesin pencari Google. Di luar dugaan, jawabannya ada. Ringkasan AI-nya menyebutkan setidaknya ada dua serangga yang dinamai untuk menghormati Elvis Presley.

Pertama, kepik perisai Catacanthus incarnatus (Hemiptera: Pentatomidae). Kepik ini dijuluki Elvis Presley shield bug karena penampilannya menyerupai gaya rambut atau wajah sang penyanyi (klik di sini). 

Kedua, tabuhan Preseucoela imallshookupis (Hymenoptera: Figitidae). Nama genusnya merupakan kombinasi bagian awal nama “Presley” dengan akhiran umum untuk genus terkait. Sementara nama spesies imallshookupis merujuk pada lagu legendaris Elvis, All Shook Up.

Beruntung, selama tiga hari menginap di Memphis, saya masih dapat menemukan restoran Cina yang menyediakan nasi goreng. Meski 30 tahun silam saya pernah bermukim selama 5 tahun di negeri Paman Sam, rupanya perut saya tetap tak bisa diajak berkompromi.

Seusai simposium, perjalanan panjang itu belum serta-merta berakhir. Saya masih melanjutkan perjalanan ke New York, sekedar singgah selama dua malam. Pastinya, Times Square dan White House tak terlewatkan. Keesokan harinya barulah saya kembali ke Tanah Air. 

***

Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 08.00 pagi. Setibanya di rumah, saya tak sabar untuk membaca koran Media Indonesia edisi 2 April 2012. Memang, beberapa hari sebelumnya, saya sudah berpesan kepada istri agar membeli koran itu. Sekadar berjaga-jaga, takut kehabisan.

Benar saja, pada halaman 20 terpampang artikel satu halaman penuh. Judulnya “Mengandalkan Musuh Alami” (Gambar 19), sebuah tulisan yang berupaya memotret kiprah saya selama ini. Artikel itu ditulis oleh Siska Nurifah. Seperti lazimnya seorang jurnalis, ia piawai menenun kata-kata menjadi rangkaian kalimat yang mengalir, renyah, dan enak dibaca.

"Kiprah" page in Media Indonesia.
Gambar 19. Rubrik "Kiprah" pada koran Media Indonesia edisi 2 April 2012.

Tak lama setelah kepulangan dari AS, ponsel saya kembali kerap bergetar. Beberapa pesan singkat masih terus berdatangan. Pada 2 April, Radio Elshinta menghubungi, meminta waktu untuk membahas serbuan kupu-kupu putih di Sulawesi. Disusul, 6 April, permintaan dari Green Radio untuk mengulas perangkap tomcat. Dengan berat hati, keduanya tak dapat saya penuhi.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 10 April, lagi-lagi sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tak saya kenal. 

"Selamat siang Prof., saya Dina dari Telisik ANTV. Saat ini Telisik ANTV  sedang membuat liputan panjang tentang tomcat. Apakah besok kami bisa wawancara ? Terima kasih."

Saya mengiyakan. Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 pagi, sesuai waktu yang disepakati, Mbak Dina datang ke Laboratorium Ekologi Serangga. Ia tak sendiri, seorang kameramen menyertainya, lengkap dengan peralatan pengambilan gambar.

Di depan kamera, sambil duduk di kursi di samping meja laboratorium, saya berusaha memasang wajah santai. Begitu aba-aba “camera… roll… action” terdengar, saya mulai menuturkan segala ihwal tentang kumbang tomcat. Isinya tak jauh berbeda dari apa yang sebelumnya telah saya sampaikan kepada berbagai media massa.

Sekitar seminggu kemudian, melalui salah satu jasa ekspedisi, saya menerima kiriman kopi tayang liputan tersebut. Di sela-sela kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa, dan menyiapkan naskah publikasi, saya menyempatkan diri memutarnya (Gambar 20).

"Telisik" program on ANTV.
Gambar 20. Tangkapan layar program "Telisik" di ANTV dengan bahasan kumbang tomcat.

Program Telisik itu berdurasi sekitar 16 menit. Dalam tayangan tersebut, Mbak Dina berupaya meramu beragam potongan informasi tentang kumbang tomcat menjadi sebuah liputan yang utuh dan menyeluruh. Kisahnya dimulai dari kehidupan tomcat di persawahan, berlanjut pada perpindahannya ke kawasan permukiman, hingga dampaknya pada warga yang mengalami lepuhan kulit akibat racunnya.

Selain penjelasan saya mengenai tomcat sebagai predator alami hama padi, liputan itu juga dilengkapi dengan perspektif medis. Aspek ini disampaikan oleh Prof. Tjandra Yoga Aditama yang kala itu menjabat Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). Hasilnya, sebuah tayangan yang tampak lebih komprehensif, mempertemukan ekologi serangga dan kesehatan manusia dalam satu bingkai cerita.

***

Ledakan ulat bulu dan kumbang tomcat pada awal dekade 2010-an menegaskan pentingnya pemahaman ekologi dalam membaca tanda-tanda alam. Bagi pengambil kebijakan, peristiwa itu menggarisbawahi perlunya respons berbasis sains, bukan semata tindakan reaktif. Bagi media dan publik, ia menjadi pengingat bahwa informasi yang jernih dan proporsional sangat menentukan arah persepsi dan kepanikan sosial.


Referensi

Collenette CL. 1948. The Lymantriidae of Java. The Annals and Magazine of Natural History 12(1): 685-744.

Davidson SA, Norton SA, Carder MC, Debboun M. 2009. Outbreak of Dermatitis Linearis Caused by Paederus ilsae and Paederus iliensis (Coleoptera: Sta[hylinidae) at a Military Base in Iraq. The Army Medical Department Journal: 6-14.

Departemen Proteksi Tanaman. 2011. Laporan Akhir Ekspedisi Ulat Bulu 2011. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 

Dupont F, Sheepmaker GJ. 1936. Uit Java's Vlinderleven. Batavia: NV Bookhandel en Drukkerij Visser & Co.

Franssen CJH. 1941. Een Beknopt Overzicht van de Plagen van de Mangga. Mededeelingen van het Algemen Proefstation voor den Landbouw. 31: 1-27.

Kalshoven LGE. 1951. De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Deel II. Bandoeng: NV Uitgeverij W van Hoeve & S-Gravenhage. 

Konningsberger JC. 1908. Tweede Overzicht der Schadelijke en Nuttige Insecten van Java. Mededeelingen uitgaande van het Departement van Landbouw No. 6: 1-108.

Lockwood JA. 1987. Entomological Warfare: History of the Use of Insects as Weapons of War. Bulletin of the Entomological Society of America 33(2): 76-82.

Rahmah E, Norjaiza MJ. 2008. An outbreak of Paederus dermatitis in a primary school, Terengganu, Malaysia. Malaysian J Pathol 30(1): 53-56.

Singh AP. 2021. Insect Pests of Western Himalayan Oaks in Uttarakhand. Dehradun (India): M.S. Printers & Creators.

Toxopeus LJ. 1948. Notes on Lymantriidae with A Partial Revision of The Genus Redoa Wlk. (Lepid. Heteroc.). Treubia 19 Part 3: 429-524.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2025. Hari-hari Panjang Membersamai Ledakan Ulat Bulu dan Kumbang Tomcat. https://www.serbaserbihama.com/2025/12/ledakan-ulat-bulu-kumbang-tomcat.html. Diakses tanggal (sebutkan).





No comments: