Wednesday, July 30, 2025

Dejavu Penggerek Padi Putih (Scirpophaga innotata), Ledakan di Jalur Pantura Awal 1990-an

Setelah bertiarap lebih dari 50 tahun, hama penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) tetiba bangkit dan menyerang 62.000 ha sawah, dengan 14.000 ha puso.

Aunu Rauf

Mengisahkan hama penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) sama menariknya dengan mengisahkan hama wereng cokelat (Nilaparvata lugens). Bagaimana tidak, kedua spesies hama ini memperlihatkan pola serangan yang berkelindan dengan perubahan praktik budidaya tanaman.

Intensifikasi padi yang dimulai sejak akhir tahun 1960-an telah mengantarkan hama wereng cokelat menjadi hama utama pada pertanaman padi. Padahal, semasa kolonal wereng cokelat bukanlah hama penting yang menimbulkan kerugian bagi petani. 

Sebaliknya, penggerek padi putih adalah hama yang paling merugikan pada masa kolonial, tapi tidak setelah kemerdekaan. Utamanya pasca akhir tahun 1960-an setelah berkembangnya irigasi yang memungkinkan petani menanam padi dua kali dalam setahun. 

Namun, pada awal tahun 1990-an penggerek padi putih kembali meledak populasinya di Jalur Pantura (Jatiluhur Pantai Utara) Jawa Barat. Ironisnya, ledakan itu terjadi pada saat kita tengah gencar-gencarnya melaksanakan pelatihan PHT bagi petugas dan petani, tak lama setelah digulirkannya Program Nasional PHT.

Fakultas Pertanian-IPB pun segera meresponsnya dengan mengadakan seminar bertema "Pengendalian Hama Terpadu Penggerek Padi Putih dalam Rangka Melestarikan Swasembada Beras" pada 17 April 1990. Seminar yang dihadiri oleh 94 peserta itu dibuka oleh Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, serta sambutan pengarahan dari Menteri Pertanian, Ir. Wardojo.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan penggerek padi putih?. 

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan mengawalinya dengan melakukan kilas balik ke masa-masa sebelum proklamasi kemerdekaan.

Penggerek padi putih pada era kolonial

Keberadaan penggerek padi putih di Jawa pertama kali dilaporkan pada tahun 1908 oleh J.C. Koningsberger dalam monograf "Tweede Overzicht der schadelijke en nuttige insecten van Java" [Tinjauan Kedua tentang Serangga Berbahaya dan Bermanfaat di Jawa]. 

Pada saat itu, identitas penggerek padi putih belum ditentukan secara pasti dan hanya dicatat sebagai Scirpophaga sp., berbeda dengan penggerek padi kuning yang telah dinamai Schoenobius bipunctifer.

Namun, gejala serangannya yang disebut sundep dan beluk telah lama dikenal di kalangan petani. Bahkan, kedua istilah ini tercantum dalam monograf terbitan tahun 1863 berjudul "Bijdragen tot de kennis der ziekten en plagen van het padi-gewas" [Kontribusi Pengetahuan tentang Penyakit dan Hama Tanaman Padi] yang disusun oleh Karel Frederik Holle.

Penelitian mengenai penggerek padi di Hindia Belanda (Indonesia) dimulai oleh Dr. Dammerman, lulusan Universitas Utrecht, yang tiba di Jawa pada tahun 1910. Hasil studinya itu dibukukan dalam monograf berjudul "De Rijstboorderplaag op Java" [Hama penggerek padi di Jawa] yang diterbitkan pada tahun 1915.

Dalam monograf itu Dammerman mencantumkan lima spesies penggerek padi: Schoenobius bipunctifer, Scirpophaga sericea, dua spesies Chilo, serta Sesamia inferens.

Kini, Schoenobius bipunctifer telah berganti nama menjadi Scirpophaga incertulas, yang dikenal sebagai penggerek padi kuning. Sedangkan yang semula disebut Scirpophaga sericea kini diakui sebagai Scirpophaga innotata, yaitu penggerek padi putih. 

Genus Chilo sendiri mencakup tiga spesies utama: Chilo suppressalis (penggerek padi bergaris), Chilo polychrysus (kepala hitam), dan Chilo auricilius (mengkilat). Sementara itu, Sesamia inferens dikenal sebagai penggerek padi merah jambu.

Di Indonesia, penggerek padi dari genus Scirpophaga jauh lebih penting dibanding genus lainnya. Scirpophaga incertulas (penggerek padi kuning) tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan Scirpophaga innotata (penggerek padi putih) hanya dilaporkan di wilayah Jawa, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan 

Pada masa kolonial, penggerek padi putih (S. innotata) sering menyebabkan kerusakan parah di dataran rendah sepanjang pantai utara Jawa (Gambar 1).

Geographic distribution of Scirpophaga innotata in Java
Gambar 1. Persebaran penggerek padi putih di Jawa pada era kolonial (⬤) dan setelah kemerdekaan (⭐). (Sumber: van der Goot, 1925; Hattori & Siwi, 1986).

Daerah ini berada pada ketinggian di bawah 200 m dpl dan memiliki curah hujan bulan Oktober–November yang tidak melebihi 200 mm. Di Jawa Barat, wilayah tersebut mencakup Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Indramayu, dan Cirebon; di Jawa Tengah: Pekalongan, Demak, Pati, dan Rembang; serta di Jawa Timur: Surabaya, Madiun, Ngawi, Kediri, dan Madura.

Sawah di daerah tersebut tergolong sawah tadah hujan, dengan penanaman padi hanya satu kali setahun, yakni tanam awal musim hujan (November/Desember) dan panen akhir musim hujan (April/Mei). Varietas padi yang ditanam kala itu berumur dalam (5–6 bulan).

Pada sawah tadah hujan seperti itu, panen padi meninggalkan sisa jerami dan tunggul yang dibiarkan di lahan bera selama 5–6 bulan, seiring dengan berlangsungnya musim kemarau (Mei–Oktober). 

Selama masa bera tadi, larva penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) berdiapause di dalam buku terbawah dari tunggul padi (Gambar 2).

Diapausing larva of Scirpophaga innotata in the stubble
Gambar 2. Ulat penggerek padi putih berdiapause di dalam buku tebawah dari tunggul padi (Sumber: Tjoa Tjien Mo, 1952)

Diapause berlangsung setidaknya selama tiga bulan, dan berakhir saat awal musim hujan setelah curah hujan pertama cukup membasahi tanah, yaitu sekitar 10 mm. 

Sekitar 4–6 minggu kemudian, ngengat keluar dari tunggul dan beterbangan (penerbangan ke-1). Karenanya dikenal sebagai penerbangan tunggul, yang lamanya berlangsung 7–10 hari.

Bila sudah ada persemaian, ngengat tersebut akan meletakkan kelompok telur pada permukaan daun bibit. Penerbangan ke-1 ini menyebabkan gejala sundep di persemaian,

Sekitar 35 hari kemudian muncul ngengat keturunannya (penerbangan ke-2), dan 35 hari berikutnya penerbangan ke-3. Penerbangan ke-2 dan ke-3 ini menyebabkan gejala sundep di sawah

Penerbangan ke-4 adalah yang paling penting karena ngengat itu keluar beterbangan pada saat padi memasuki fase bunting. Larvanya yang menggerek ke dalam tangkai malai menyebabkan gejala beluk. 

Dammerman mencatat kerusakan berat terjadi pada tahun 1912 di Cirebon, Surabaya, dan Madura seluas 28.384 ha dengan kehilangan hasil 61.760 ton gabah atau senilai 2.500.000 gulden. Pada tahun 1919 serangan berat yang terjadi di seluruh Jawa diprkirakan seluas 38.318 ha. 

Kala itu, Dammerman memperkenalkan istilah "tahun penggerek", yaitu saat penerbangan ngengat sangat banyak dan terjadi kerusakan yang sangat parah. Tahun penggerek itu terjadi bila musim kemarau sebelumnya sangat kering, sementara musim hujan datang terlambat

Selama periode 40 tahun (1900-1940), ledakan penggerek padi putih terjadi sebanyak 9 kali, yaitu tahun 1903, 1907, 1912, 1915, 1919, 1926, 1932, 1936, dan 1937.

Sebaliknya, bila musim kemarau bersifat basah atau sangat basah, maka banyak dari tunggul-tunggul itu membusuk. Akibatnya, larva yang berdiapause di dalam tunggul ikut mati. 

Kondisi ini menyebabkan hanya sedikit larva yang berhasil berkembang menjadi ngengat. Sedikitnya penerbangan itu menyebabkan kerusakan yang ditimbulkannya juga ringan. 

Diapause pada penggerek padi putih

Di belahan bumi yang memiliki empat musim, diapause merupakan fenomena yang lazim. Pada musim dingin (winter), serangga bertahan hidup dengan berdiapuse. Ada yang dalam fase telur, larva, pupa, atau imago. 

Di Indonesia, penggerek padi putih barangkali satu-satunya serangga yang berdiapause, setidaknya itu yang telah dibuktikan secara eksperimental.

Adalah Dammernan orang yang pertama kali pada tahun 1912 melaporkan fenomena diapause pada penggerek padi putih. Ia mengamati ulat penggerek padi putih, yang setelah panen berada di dalam batang padi yang mengering, tidak berkembang lebih lanjut. 

Ulat tadi juga tidak mati, tetapi menggerek ke bagian bawah batang, dan berada dalam keadaan hidup sebagai ulat selama musim kering. 

Ia berpendapat bahwa diapause di musim kemarau itu disebabkan oleh lingkungan kering karena pengeringan sawah sewaktu dan setelah panen serta berhentinya hujan setelah musim panen. Itu sebabnya, ia menyebutnya sebagai tidur musim kering (droogte slaap).

Setelah hujan pertama jatuh di awal musim hujan, ulat itu berkepompong dan kemudian berkembang normal menjadi ngengat. 

Penelitian yang lebih mendalam tentang diapause penggerek padi putih dilakukan oleh P van der Goot sebagai bagian dari disertasinya “Onderzoekingen over Levenswijze en Bestrijdino van den Witten Rijstboorder op Java” [Penelitian tentang Kehidupan dan Pengendalian Penggerek Padi Putih di Jawa]. Disertasinya itu di pertahankan di hadapan Rektor Universitas Wageningen pada 5 Februari 1925. 

Salah satu temuannya yaitu bahwa diapause pada penggerek padi putih tak semata-mata disebabkan oleh kondisi kering, tapi karena fase pertumbuhan tanaman. 

Buktinya, larva yang yang menyerang padi yang belum membentuk malai tidak berdiapause, sedangkan yang menyerang padi yang sudah membentuk malai berdiapause. 

Jadi, ia menduga bahwa diapause itu disebabkan oleh faktor makanan yang berbeda. Selama proses penuaan, terjadi perubahan komposisi nutrisi dalam jaringan tanaman. Karena itu, ia menyebutnya "rijpingslaap" atau tidur pematangan.

Menariknya, pada saat terjadi ledakan penggerek padi putih pada awal tahun 1990-an, larva yang menyerang padi rendengan yang sudah bermalai ternyata tidak berdiapause. Artinya, diapause bukan semata-mata karena kekeringan atau fase pertumbuhan padi.

Ini semua menghidupkan kembali minat untuk meneliti diapause. Setidaknya ada dua, yakni yang dilakukan oleh Hermanu Triwidodo untuk disertasinya di University of Wisconsin-Madison (USA), dan oleh Teddy Suparno untuk disertasinya di Sekolah Pascasarjana IPB.

Disertasi pertama mengungkap kebaruan bahwa diapause penggerek padi putih terjadi pada kondisi panjang hari < 11:45 jam), serta tanaman padi yang diserang telah memasuki fase bunting. 

Sementara, disertasi kedua mengungkapkan bukti pentingnya kelembaban tanah dalam menginduksi diapause. Ulat penggerek padi putih tidak berdiapause bila menyerang tanaman padi yang selama pertumbuhannya terus-menerus diairi. Sedangkan bila pada saat memasuki fase bunting pemberian air dihentikan, maka ulat berdiapause. 

Tampaknya faktor penginduksi diapause pada penggerek padi putih bukan sesuatu yang sederhana.

Rekaman ledakan awal tahun 1990-an

Sejarah penggerek padi putih tak bisa lepas dari perkembangan irigasi. Seusai dibukanya bendungan Jatiluhur pada akhir tahun 1960-an, persawahan tadah hujan seluas 300.000 ha di Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu, Purwakarta, dan Cirebon berubah menjadi sawah berpengairan teknis. 

Praktik budidaya padi pun berubah. Dari satu kali tanam setahun menjadi dua kali setahun. Kondisi ini menyebabkan ulat S. innotata yang berdiapause terganggu kehidupannya. Pengolahan tanah setelah panen, untuk penyiapan musim tanam berikutnya, menyebabkan kematian pada ulat yang sedang berdiapause. 

Di pihak lain, penanaman padi dua kali setahun sangat menguntungkan kehidupan penggerek padi kuning (S. incertulas). Buntutnya, sejak awal tahun 1970-an, jumlah populasi S. incertulas jauh melebihi S. innotata.

Sejak dominasinya tergeser oleh penggerek padi kuning (S. incertulas), penggerek padi putih (S. innotata) seolah tersisisihkan. Tak seorang pun memerhatikannya lagi. Penelitian terakhir tentang S. innotata dilakukan tahun 1925 oleh van der Goot.

Karenanya, semua dibuat kaget dan ierperangah, tatkala pada MT 1989/1990 terjadi ledakan S. innotata pada pertanaman padi di Jalur Pantura Jawa Barat. 

Serangan hama ini melanda enam kabupaten, yaitu Bekasi, Karawang, Subang, Purwakarta, Indramayu, dan Cirebon, dengan luas area yang terdampak mencapai 62.000 ha. Tragisnya, dari total area tersebut, sekitar 14.000 ha mengalami puso alias gagal panen. Keadaan serangan seperti itu mengingatkan kita pada masa-masa kolonial

Tak heran, bila banyak media massa cetak yang kemudian meliputnya (Gambar 3). Tak ketinggalan pula media elektronik.

News coverage on the outbreak of white rice stemborer
Gambar 3. Beragam berita di koran tentang ledakan penggerek padi putih di Jalur Pantura Jawa Barat (Sumber: Koleksi pribadi)

Sebagai seseorang yang pernah ditempa selaku field entomologist selama empat summer di tengah hutan pinus di negara bagian Wisconsin (USA), saya pun tak kuasa menahan diri untuk tidak terjun ke TKP. 

Dari informasi yang saya peroleh, serangan berat terjadi pada persawahan di Kecamatan Blanakan dan Ciasem, keduanya di Subang.

Dengan menenteng kamera SLR Canon AE-1, peninggalan waktu sekolah dulu, pada tanggal 16 Maret 1990 saya bergegas menyambangi lokasi serangan dengan berkendaraan Kijang tua. Tentu saja tidak sendirian, ditemani Pak Wayan Winasa. Kami berdua lantas menyusuri persawahan yang terserang penggerek padi putih.

Di Blanakan (Subang) saya mendapati petakan sawah yang ditanami varietas IR 64 tampak malai-malainya memutih, puso oleh penggerek padi putih. Sejujurnya, seumur hidup saya belum pernah melihat serangan penggerek padi seperti itu. Sementara, petak di sebelahnya yang ditanami varietas Cisadane serta dipisahkan oleh galengan sempit, hanya terserang ringan (Gambar 4). 

Ricefield heavily infested by white rice stemborer
Gambar 4. Sawah yang terserang penggerek padi putih. Bagian depan IR 64 yang puso; bagian belakang Cisadane terserang ringan. Blanakan (Subang) 16 Maret  1990.

Awalnya saya menduga bahwa varietas Cisadane resisten terhadap serangan penggerek padi putih. Belakangan saya paham, itu hanyalah resistensi semu atau pseudoresistensi. Penyebabnya, pada saat puncak penerbangan ngengat, padi varietas Cisadane belum memasuki fase berbunga, sehingga terhindar dari gejala beluk yang berat. 

Ini berbeda dengan IR 64, yang umurnya 25 hari lebih pendek. Puncak penerbangan ngengat terjadi persis bersamaan dengan fase pembungaan padi. Itu pun sebetulnya hanya terjadi di persawahan Golongan Air III. Di Golongan Air I yang jadwal tanamnya lebih awal, IR 64 hanya mengalami serangan ringan.

Tak sekadar menyaksikan sawah yang puso, saya juga menjumpai keberadaan ngengat dan kelompok telur di mana-mana. Tak hanya pada rumpun padi dan singgang, tapi juga pada gulma yang tumbuh di galengan. 

Pada daun jendela rumah penduduk pun ditemukan kelompok telur. Bahkan, saya menjumpai ngengat yang hinggap dan kelompok telur yang diletakkan pada tiang listrik (Gambar 5). Sudah barang tentu, itu bukan penggerek batang tiang listrik.

Moths and eggmasses on electric pole
Gambar 5. Ngengat yang hinggap dan kelompok telur penggerek padi putih yang diletakkan pada tiang listrik, Blanakan (Subang) 16 Maret 1990.

Pada malam hari, ngengat-ngengat itu sangat tertarik pada cahaya lampu, sehingga banyak bertebaran di sepanjang jalan di wilayah yang sawahnya terserang berat penggerek padi putih. 

Istilah ngengat itu sendiri oleh awam dikenal dengan sebutan kupu-kupu malam. Jadi, andai ada yang mengatakan di pinggir jalan banyak kupu-kupu malam, itu artinya banyak ngengat S. innotata. Bukan kupu-kupu malam dalam arti yang lain.- 

Pada kesempatan lainnya, sewaktu berada di lapangan, tak sengaja saya bertemu dengan teman kuliah, Mas Soedarto Js (almarhum), yang telah menjadi wartawan Kompas. Sewaktu kuliah dulu, ia memang aktif di koran kampus "Almamater".

Setelah ngobrol ngalor-ngidul perihal penggerek padi putih, ia melanjutkan blusukannya untuk melengkapi bahan reportasenya.

"Di malam hari kupu-kupu berkerumun dalam sorotan lampu kendaraan, penerangan jalan dan rumah-rumah penduduk. Pada siang hari, kupu-kupu mati berserakan di bawah tiang lampu jalan".

Ia nenambahkan:

"Pengendara ojek motor dari Telagasari ke Tempuran (Karawang) sangat kewalahan karena diserbu ribuan kupu-kupu. Dia harus memakai topeng salju, agar muka terhindar dari kupu-kupu. Dan lagi, kendaraan terpaksa dimatikan lampunya, guna menghindari dari serbuan mereka. Penduduk di pusat ledakan hama, juga mematikan lampu rumahnya karena takut dikerumuni kupu-kupu tersebut", begitu tulis teman wartawan tadi yang dimuat pada Kompas edisi Rabu 6 Februari 1991.

Gerakan pengendalian

Selama berada di lapangan, saya menyaksikan berbagai upaya pengendalian penggerek padi putih yang dilakukan oleh pemerintah setempat bersama masyarakat. Di antaranya yaitu pemasangan lampu petromaks, yang di bawahnya dialasi lembaran plastik berperekat untuk menampung ngengat (Gambar 6).

Moths attracted to light source
Gambar 6. Ngengat penggerek padi putih yang tertarik lampu petromaks

Jumlah ngengat yang tertangkap dalam satu malam bisa mencapai 10 kg, dengan setiap kg ditaksir berisi 15.000 ekor ngengat.  Bahkan, di Kecamatan Lemah Abang (Karawang) ada penduduk yang memasang pembangkit listrik jinjing untuk memasang lampu di tengah sawah.

"Ada sebanyak 4.408.652 ekor ngengat terperangkap lampu petromaks", begitu ujar Kepala Dinas Pertanian Karawang, mengutip laporam bawahannya.

Upaya pengendalian lainnya yang dilakukan yaitu pengumpulan kelompok telur di persemaian. Praktik pengendalian semacam ini pernah menjadi andalan pada masa kolonial.

Kelompok telur yang terkumpul dimasukkan ke dalam kantong atau tabung plastik transparan dan ditutup dengan kain kasa. Jika kelompok telur tadi menetas menghasilkan ulat, maka ulat tersebut dibinasakan. Tetapi, bila yang keluar adalah imago parasitoid, maka dilepaskan kembali ke sawah

Parasitoid yang memarasit kelompok telur penggerek padi umumnya ada tiga jenis: Trichogramma javonicum, Telenomus rowani, dan Tetrastichus schoenobii. Yang disebut terakhir ini adalah parasitoid yang paling efektif. 

Dari kelompok telur yang terparasit oleh T. schoenobii, rata-rata hanya keluar 0.8 ekor larva penggerek. Sementara dari kelompok telur yang terparasit oleh T. japonicum atau T. rowani, masing-masing keluar 66.5 ekor dan 19.4 ekor larva penggerek.

Untuk memasyarakatkan pengendalian penggerek padi putih, Program Nasional PHT membuat selebaran yang berisi ajakan kepada masyarakat untuk mengumpulkan kelompok telur di persemaian (Gambar 7).

Leaflet on collection of egg masses
Gambar 7. Selebaran tentang gerakan pengumpulan kelompok telur.

Ajakan ini direspons oleh Pemda Karawang dengan mengerahkan murid SD, SMP dan Tsanawiyah untuk mengumpulkan kelompok telur. Saya kira Pemda lainnya juga melakukan hal serupa, sebelas-duabelas. Konon, keterlibatan murid dalam kegiatan ini menentukan konduite gurunya. 

Dalam laporan Program Nasional PHT tercatat ada 80.000 murid sekolah dan 350.000 petani yang terlibat dalam pengumpulan kelompok telur, selama terjadinya ledakan pada MT 1990. Dan, sebanyak 310.439 kelompok telur berhasil dikumpulkan.  

Penurunan luas serangan dari 62.000 ha pada MT 1990 menjadi 2.000 ha pada tahun 1991, sangat boleh jadi buah dari kegiatan pengumpulan kelompok telur dan pemasangan lampu petromaks. 

Penelitian PHT

Tak hanya terbatas pada gerakan pengendalian, Program Nasional PHT juga menyediakan dana bagi penelitian yang menunjang penerapan PHT di lapangan. Institusi yang terlibat dalam kegiatan penelitian PHT padi kala itu meliputi Balittan Bogor, Balittan Sukamandi, Balittan Maros, IPB, UGM, dan Unhas.

Fokus penelitian yang dilakukan oleh Tim IPB tak jauh-jauh dari penggerek padi putih. Selain saya, anggota Tim Peneliti lainnya adalah I Wayan Winasa, Sugeng Santoso, Ali Nurmansyah, dan Ruly Anwar, serta dibantu oleh beberapa sarjana HPT yang baru lulus (Gambar 8).

Research team of white rice stemborer
Gambar 8. Salah satu Tim Peneliti penggerek padi putih.

Para sarjana baru ini tinggal menetap di lapangan. Mereka menyewa rumah petani dengan tiga kamar tidur di Randumulya (Karawang), yang sekaligus juga dijadikan laboratorium untuk pengamatan penggerek padi putih dan parasitoid telur.

Karena adanya penelitian ini, saya kerap berkunjung ke lapangan di Randumulya dan sekitarnya. Kala itu belum ada jalan tol Cikampek, sehingga perlu ditempuh setidaknya tiga jam dari Darmaga untuk sampai di lokasi penelitian. 

Sesekali saya berangkat sore hari agar tiba menjelang magrib, demi untuk bisa mengamati pola penerbangan ngengat S. innotataKarena penerbangan ngengat berlanjut hingga tengah malam, tak jarang saya harus menginap di rumah petani, dan baru pulang esok harinya. 

Untungnya, "yang di rumah" bisa memahami profesi seorang entomologiwan lapangan. Maklum, meski saya kerap bertemu kupu-kupu malam yang tubuhnya putih bersih, itu hanyalah ngengat S. innotata.

Pada suatu siang terik di akhir Agustus 1992, kemarau sedang berada di puncaknya, sungai-sungai menyusut, dan sumur-sumur hanya menyisakan lumpur di dasarnya. Kami menyusuri hamparan sawah bera yang tanahnya merekah dan menganga untuk mengamati ulat yang berdiapause dalam tunggul.

Ketika kami tiba di sebuah petakan sawah bera yang letaknya tak jauh dari pemukiman penduduk, seorang rekan tiba-tiba menghentikan langkah. Ia memperingatkan kami agar berhati-hati terhadap "ranjau sawah." Rupanya, ia pernah punya pengalaman buruk di tempat seperti itu. Kami semua sontak saling pandang, dan sebagian mulai tertawa ringan. Barangkali Anda paham apa yang dimaksud rekan tadi tentang "ranjau sawah".

Penelitian lainnya yang khusus tentang penggerek padi putih dilaksanakan oleh Pak Djafar Baco dari Balittan Maros dan Bu Hendarsih dan Pak Baehaki dari Balittan Sukamandi. Kedua institusi ini meneliti ketahanan varietas terhadap penggerek padi putih.

Seluruh penelitian yang dibiayai Program Nasional PHT itu lantas dipaparkan pada Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT yang dilaksanakan di Cisarua-Bogor pada 7-8 Sepember 1992. 

Hasil penelitian IPB saya racik dan pilah menjadi dua makalah. Pertama tentang perkembangan temporal dan spasial serangan penggerek padi putih dan implikasinya bagi penyusunan strategi pengendalian (klik di sini), dan kedua tentang kajian beberapa teknik pengendalian penggerek padi putih (klik di sini).

Sejatinya, pada kurun waktu dan lokasi yang sama, Pak Hermanu Triwidodo (HT) yang waktu itu berstatus mahasiswa S3 di Department of Entomology, University of Wisconsin-Madison (USA), juga sedang melakukan penelitian penggerek padi putih untuk keperluan disertasinya. Di lokasi berdekatan, ada pula EG Rubia untuk disertasinya di The University of Queensland. Penelitian yang lebih akademis tentunya.

Namun, di luar penelitian disertasinya itu, HT juga menyelenggarakan action research bersama petani dalam penanggulangan hama penggerek padi putih. Kegiatannya ini dibantu oleh beberapa sarjana HPT yang baru lulus. Sebagian di antaranya kelak menjadi dosen HPT: Suryo Wiyono, Retno Wijayanti, dan Dadan Hindayana.  

Untuk kegiatan action research tadi, sebuah rumah petani di Rawamerta (Karawang) disulap menjadi laboratorium lapangan. Tampaknya HT ingin meneruskan jejak dan semangat para pendahulunya.  

Di tempat yang sama (Karawang), 25 tahun sebelumnya, persisnya tahun 1963, para dosen dan mahasiswa IPB melaksanakan action research tentang Panca Usaha, yang di kemudian hari menjelma menjadi program BIMAS. 

Di luar penelitian yang dipayungi Program Nasional PHT, ada pula kegiatan suvei lapangan yang dilaksanakan oleh tim dari Sentra Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman, Jatisari, kerjasama dengan Pemerintah Jepang (ATA-162). Hasil surveinya itu, yang mengungkap berbagai lokasi kantong populasi S. innotata di Jalur Pantura, mewarnai kajian di bawah ini.

Mengulik penyebab ledakan  

Ledakan penggerek padi putih di Jalur Pantura Jawa Barat diperkirakan berawal dari diintroduksikannya varietas padi IR 64 pada MT 1986/1987, sebagai pengganti varietas Cisadane yang telah patah ketahanannya oleh wereng cokelat biotipe-3.

Tak lama setelah itu, pada MT 1987/1988, geliat penggerek padi putih mulai terendus di Indramayu. Bahkan, setahun berikutnya (MT 1988/1989) serangan penggerek padi putih di wilayah ini meluas hingga mencapai 2.000 ha. 

Pertanyaan pun menyeruak, mengapa dimulai dari Indramayu ?. 

Sudah sejak lama, karena tak tersentuh jaringan irigasi, di daerah ini di sana-sini masih terdapat sawah tadah hujan. Tak heran, bila pada surveinya tahun 1977 yang dilakukan di seluruh Jawa, Isoko Hattori dan Sri Suharni Siwi dari LP3 Bogor masih menjumpai kantong populasi penggerek S. innotata di Indramayu, selain Gresik di Jawa Timur (lihat Gambar 1 sebelumnya).

Ditambah lagi, pada tahun 1982-1983 terjadi El Nino. Kemarau panjang yang menyertainya menyebabkan banyak sawah yang ditelantarkan atau diberakan. Kondisi ini menciptakan terbentuknya kantong-kantong populasi S. innotata yang lebih luas.  

Dari kantong-kantong populasi itulah diperkirakan penggerek padi putih menyebar ke persawahan lainnya, termasuk sawah berpengairan teknis, menyerang padi rendengan dan padi gadu.

Puncak serangan terjadi pada MT 1989/1990, meliputi sawah seluas 62.000 ha di Bekasi, Karawang, Subang, Purwakarta, Indramayu, dan Cirebon..

Akan tetapi, muncul pertanyaan susulan, bagaimana bisa hama penggerek S. innotata berkembang biak di persawahan dengan pola tanam padi dua kali dalam setahun ?. 

Kala itu, banyak yang menduga bahwa ulat penggerek padi putih telah berubah biologinya. Ia tak lagi berdiapause. Dugaan yang didasarkan pada hasil pengamatan lapangan itu tidak sepenuhnya benar atau salah. 

Benarnya, ulat penggerek putih yang menyerang padi rendengan memang tidak berdiapause, meski serangannya terjadi pada padi yang telah memasuki fase bunting. 

Salahnya, ulat penggerek padi putih ternyata masih tetap berdiapause, bila yang diserangnya adalah padi gadu yang telah memasuki fase bunting. 

Artinya, dugaan bahwa ledakan peggerek padi putih itu akibat ulat tidak lagi berdiapause gugur dengan sendirinya. 

Nah, penyebab ledakan itu mulai menampakkan titik terang setelah saya memperoleh pencerahan dari artikel JA Litsinger dalam International Journal of Pest Management tahun 2006. Judulnya "Rice white stemborer Scirpophaga innotata (Walker) in southern Mindanao, Philippines. I. Supplantation of yellow stemborer S. incertulas (Walker) and pest status".

Dr. JA Litsinger adalah pakar entomologi pertanian yang lahir di Dixon, California tahun 1941. Ia pernah bekerja sebagai peneliti di berbagai lembaga internasional termasuk IRRI. Gelar Ph.D-nya diperoleh dari Department of Entomology, University of Wisconsin-Madison (USA) tahun 1972, atau 11 tahun lebih dulu dari saya.

Meski artikelnya terfokus pada kasus penggerek padi putih di Mindanao, tapi ada juga menyinggung kasus yang terjadi di Jawa.

Dengan mengacu pada artikel itu, saya mencoba menerka-nerka penyebab terjadinya ledakan penggerek padi putih di Jalur Pantura Jawa Barat, seperti diuraikan di bawah ini.

Sebelum terjadi ledakan penggerek padi putih, varietas padi yang banyak ditanam di Jalur Pantura adalah Cisadane (135 hari) yang dilepas tahun 1980. Varietas ini tahan terhadap wereng cokelat biotipe-2. 

Pada masa-masa penanaman varietas padi Cisadane, tak ada masalah dengan hama penggerek padi putih. Ini secara sederhana dapat diterangkan sebagai berikut.

Dalam setahun (365 hari) terdapat dua kali tanam. Setelah panen musim rendengan, lama waktu untuk penyiapan lahan dan persemaian musim gadu katakanlah satu bulan (30 hari). Dengan begitu, lamanya masa bera setelah panen gadu adalah: 

365 - (135 + 30 + 135) = 65 hari

Dari peneltian van der Goot (1925) diketahui bahwa lama waktu ulat penggerek padi putih berdiapause minimal 3 bulan (90 hari). Jadi, masa bera selama 65 hari itu tidak cukup untuk menuntaskan diapause. Ulat-ulat yang berdiapause akan mati, tak sempat berkepompong, karena terkejar oleh waktu pengolahan tanah.

Kisah penggerek padi pun lantas berubah tatkala pada tahun 1986 terjadi ledakan wereng cokelat biotipe-3 yang mematahkan ketahanan varietas padi Cisadane. Untuk menanggulanginya, pemerintah mengintroduksikan varietas tahan IR 64, yang berumur genjah (110 hari).

Dengan beralihnya ke IR 64, maka lamanya bera setelah panen gadu bertambah panjang menjadi: 

365 - (110 + 30 + 110) = 115 hari

Rentang waktu 115 hari ini cukup bagi ulat S. innotata untuk menuntaskan masa diapausenya dan masa kepompongnya (8-10 hari) untuk berkembang hingga terbang menjadi ngengat. 

Tapi, ledakan penggerek padi putih yang masif tentu saja tidak datang tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari dampak penanaman IR 64 dalam hamparan yang luas dan terus menerus. 

Bayangkan, pada MT 1989/1990 sekitar 75% padi yang ditanam di Jalur Pantura Jawa Barat adalah IR 64. Jangan heran, IR 64 adalah varietas padi yang rasanya enak, produktivitasnya tinggi, dan harganya pun mahal.

Penanaman IR 64 yang luas dan terus menerus memberi ruang dan waktu bagi ulat S. innotata untuk bertahan hidup, dengan berdiapause, selama lahan diberakan. Dan itu, tak dimungkinkan selama "era Cisadane".

Sejarah hama berputar. Sejak pertengahan tahun 1990-an, penggerek padi putih (S. innotata) menurun populasinya, dan perlahan namun pasti dominasinya kembali digeser oleh penggerek padi kuning (S. incertulas). Adakah ini berkaitan dengan pananaman varietas padi berumur sedang (125-150) hari ?. Menarik untuk dinanti kajiannya. Oleh siapa pun itu !.

***

Kini, beberapa dekade setelah peristiwa itu, kisah penggerek padi putih di Jalur Pantura Jawa Barat awal 1990-an menyisakan catatan penting dalam sejarah hama di Indonesia. 

Ia menjadi bukti nyata bahwa alam memiliki hukum dan logikanya sendiri. Ketika kita mengintervensi—dengan varietas unggul, intensitas tanam tinggi, dan teknologi modern—kita harus siap menghadapi konsekuensi yang kadang tak terduga.

Penanaman varietas padi berumur genjah dalam skala luas dan terus menerus sempat memberi panggung bagi hama penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) yang terlupakan untuk kembali pentas.

Referensi

Baehaki SE. 1990. Beberapa faktor penyebab ledakan penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata (Walker) pada pertanaman padi di Jalur Pantura. Seminar PEI. 14 h.

Dammerman KW. 1915. De rijstboorderplaag op Java.Meded Lab Plantenziekten 16. 70 p.

Harahap Z, Soewito T, Ida Hanarida S. 1987.Perbaikan ketahanan varietas padi terhadap wereng cokelat Nilaparvata lugens Stal. Wereng Cokelat Edisi Khusus No 3: 1-15.

Hattori I, Siwi SS. 1986. Rice stemborers in Indonesia. JARQ 20(1): 25-30.

Hendarsih Suharto, Ussyati N. 2008. Pengendalian Hama Penggerek Batang. Padi Inovasi Teknologi Produksi 2008, 323-341.

Litsinger JA, Alviola AL, Dela Criz CG, Canapi BL, Batay-an III EH, Barrion AT. 2006. Rice white stemborer Scirpophaga innotata (Walker) in southern Mindanao, Philippines, I. Supplantation of yellow stemborer S. incertulas (Walker) and pest status. International Journal of Pest Management 55(1): 11-21.

Manuwoto Sy. 1990. Diapause pada penggerek padi putih (Scirpophaga innotata). Seminar Pengendalian Hama Penggerek Padi Put[h. Bogor, 17 April 1990.

Natanegara F, Sawada H. 1991. Pengamatan, Peramalan dan Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata) di Jalur Pantura. Final Report Indonesia_Japan Joint Programme on Food Crop Protection Project (ATA-162) Phase II: 50-71.

Oka IN. 1991. Kajian Penanggulangan Wabah Hama Penggerek Batang Padi Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu. Program Nasional PHT. 20 h.

Rauf A. 1993. Strategi PHT penggerek padi putih di Jalur Pantura: Mungkinkah jarum jam diputar ulang. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 6(1): 46-54.

Sosromarsono S. 1990. Bioekologi dan strategi pengendalian terpadu penggerek padi putih (Scirpophaga innotata). Seminar Pengendalian Hama Penggerek Padi Putih. Bogor, 17 April 1990.

Suparno T. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Scirpophaga innotata pada Tanaman Padi dengan Kandungan Kalium Berbeda [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tjoa Tjien Mo. 1952. Memberantas Hama-Hama Padi di Sawah dan di Dalam Gudang. Djakarta: Noordhoff-Kolff NV.

Triwidodo H. 1993. The Bioecology of White Rice Stemborer in West Java Indonesia [disssertation]. Madison (USA): University of Wisconsin.

van der Goot P. 1925. Levenswijze en bestrijding van den witten rijstboorder op Java. Mede v h Instit v Plantenziekten 66. 308 p.

Wigenasantana S. 1990. Keadaan serangan penggerek padi dan usaha penanggulangannya. Seminar Pengendalian Hama Penggerek Padi Put[h. Bogor, 17 April 1990.

Untuk keperluan sitasi, silakan tulis:

Rauf A. 2025. Dejavu Penggerek Padi Putih, Scirpophaga innotata, Ledakan di Jalur Pantura Awal 1990-an. https://www.serbaserbihama.com/2025/07/penggerek-padi-putih-scirpophaga-innotata.html. Diakses tanggal (sebutkan).


No comments: