Berkat jasa-jasanya dalam pengendalian berbagai hama tanaman, ia dianugerahi Medali Bosscha pada tahun 1936. Nahas, semasa pendudukan Jepang, wabah disentri yang merebak di seantero kamp interniran Tjimahi merenggut nyawanya.
Nama P van der Goot telah lama terpateri dalam kepala saya. Setidaknya sejak tahun 1989 atau 1990. Saat itu terjadi ledakan hama penggerek padi putih (Scirpophaga innotata) di sepanjang Jalur Pantura Jawa Barat (klik di sini).
Ledakan besar itu memaksa saya menelusuri berbagai pustaka tentang hama yang, pada masa kolonial, sering menyebabkan gagal panen dan kelaparan di Pulau Jawa.
Saya memulai pencarian dari daftar referensi di buku Kalshoven. Di situlah pertama kali muncul nama P van der Goot. Dari titik itu, penelusuran pustaka mulai bergulir, melalui kartu-kartu katalog di Bibliotheca Bogoriensis dan di Perpustakaan Bagian Hama dan Penyakit Tumbuhan, Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor.
Kartu demi kartu saya periksa satu per satu. Maklum saja, waktu itu komputer masih jarang dan internet belum ada. Hasilnya cukup menggembirakan. Saya menemukan banyak artikel tentang hama padi yang ditulis oleh P van der Goot.
Belakangan, sewaktu saya menyiapkan postingan "Melacak Jejak Pengendalian Hayati Klasik di Hindia Belanda", nama itu kembali muncul. Begitu pula ketika saya menulis "Tanpa Semut Hitam Tak Ada Kakao", nama P van der Goot tak terlewatkan.
Lantas, siapakah sebenarnya sosok P van der Goot (Gambar 1), dan apa saja kiprahnya di Hindia Belanda ?. Yuk, simak kisah hidupnya di bawah ini.
![]() |
| Gambar 1. Dr. Pieter van der Goot (Sumber: W Roepke, 1946).. |
Nama lengkapnya Pieter van der Goot, lahir10 Desember 1887 di Amsterdam. Ia tumbuh sebagai anak dari seorang wartawan ternama yang bekerja di salah satu koran terkemuka di kota itu.
Sejak kecil, ia bercita-cita ingin menjadi seorang petani, sebuah pilihan yang tak lazim bagi anak kota seperti dirinya. Minat itu sangat boleh jadi muncul dari ketertarikannya terhadap tanaman dan hewan, serta dari keinginannya untuk melakukan pekerjaan praktis yang manfaatnya bisa langsung dirasakan. Dorongan bathin inilah yang kelak terus berlanjut, bahkan ketika ia melakukan riset.
Setelah menamatkan sekolah menengah pada tahun 1905, ia melanjutkan pendidikannya di Rijks Hoogere Land-, Tuin- en Boschbouwschool di Wageningen, sebuah perguruan tinggi pertanian ternama. Tiga tahun kemudian, pada 1908, ia berhasil menyelesaikan studinya dengan gemilang.
Sesuai cita-citanya, semula ia berencana untuk terjun langsung ke dunia pertanian. Akan tetapi, takdir berkata lain, ia mendapat tawaran dari Prof. Ritsema Bos--seorang pakar hama kenamaan--untuk menjadi asistennya. Pilihan inilah yang kemudian menentukan lintasan perjalanan hidupnya.
Kala itu, negeri Belanda tengah dilanda serangan hama kutu daun. Prof. Ritsema Bos menugaskannya untuk meneliti kelompok serangga yang pada waktu itu luput dari perhatian banyak orang.
Hasil studinya itu lantas ia terbitkan tahun 1915 dalam sebuah monograf setebal hampir 600 halaman, berjudul Beiträge zur Kenntnis der Holländischen Blattläuse [Kontribusi Terhadap Pemahaman Tentang Kutu Daun Belanda].
Karyanya ini merupakan pencapaian yang mengagumkan, terlebih mengingat usianya yang relatif masih muda (28 tahun). Buku tersebut menandai terobosan besar dalam kajian kutu daun, dengan deskripsi orisinal, detail morfologi yang cermat, pengukuran akurat, serta dilengkapi data biologinya.
Sementara itu, jauh di Hindia Belanda, sepeninggal Dr. Zehntner pada tahun 1900, tak ada lagi sosok yang benar-benar ahli dalam bidang hama tebu. Kekosongan itu dirasakan betul oleh Dr. Prinsen Geerligs, Direktur Proefstation voor Suikerriet di Kagok, Jawa Barat. Ia kemudian mengajak seorang entomologiwan muda berbakat untuk bergabung di Proefstation voor de Java-Suikerindustrie di Pasoeroean, Jawa Timur.
Pada tahun 1912, berangkatlah pria muda berperawakan tinggi, berambut pirang, dan bermata biru itu menuju Jawa--sebuah pulau yang kelak akan menjadi saksi pengabdian ilmiahnya. Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah P van der Goot.
Dia merupakan orang Europa pertama yang datang ke Hindia Belanda dengan latar belakang pendidikan entomologi pertanian. Berbeda dengan para pendahulunya. Misalnya, Dr. Koningsberger berlatar belakabg botani, Dr. Zehntner zoologi, Dr. Kalshoven seorang Ir. Kehutanan. Bahkan, Dr. (HC) Leefmans hanya lulusan sekolah dasar.
Di Pasoeroean, P van der Goot mengabdikan seluruh waktunya untuk meneliti dan menanggulangi hama penggerek batang tebu dan hama uret. Namun, masa baktinya di sana tak berlangsung lama. Ketidaksepahaman dengan atasannya tentang arah penelitian membuatnya dipindahkan pada tahun 1914 ke Stasiun Penelitian Kakao di Salatiga, Jawa Tengah.
Justru di kota sejuk di lereng Merbabu itulah lahir kontribusinya yang paling dikenal. Ia membuktikan secara eksperimental tentang peranan semut hitam dalam menekan serangan hama Helopeltis di perkebunan kakao. Kajian inilah yang kemudian melahirkan semboyan "Tanpa semut hitam, tak ada kakao".
Di waktu luangnya, P van der Goot tenggelam dalam dunia kecil kutu daun yang memikat minatnya sejak lama. Ia kerap menghabiskan malam dengan mikroskop di depan mata, memeriksa spesimen, membuat sketsa, dan membuat catatan. Boleh jadi, sesekali sambil menyeruput secangkir kopi panas.
Hasil ketekunannya menjelma menjadi sebuah monograf setebal 301 halaman, berjudul Zur Kenntnis der Blattläuse Java’s [Informasi tentang kutu daun di Jawa] yang terbit tahun 1916.
Pada tahun 1917, setelah masa kontraknya berakhir, ia mengambil cuti panjang ke Belanda. Namun, jiwa petualang membawanya menempuh jalur panjang yang penuh risiko. Melintasi Jepang, Siberia, dan Rusia yang tengah bergolak karena revolusi. Lalu berlanjut ke Finlandia, Swedia, dan Inggris.
Setahun kemudian, dalam perjalanan kembali ke Hindia Belanda, ia juga memilih rute yang tak kalah menantangnya. Melewati Amerika Utara, Kepulauan Hawaii, dan Jepang.
Dari Hawaii ia membawa "oleh-oleh" yang tak lazim, 400 ekor kumbang Cryptolaemus montrouzieri (Gambar 2). Hidup-hidup. Kelak kumbang itu akan digunakan untuk pengendalian hayati hama kutu putih.
![]() |
| Gambar 2. Kumbang Cryptolaemus montrouzieri yang diimpor dari Hawaii (Sumber: P van der Goot, 1920). |
Setibanya di Hindia Belanda pada Mei 1918, ia ditempatkan di Instituut voor Plantenziekten di Buitenzorg (kini Bogor). Setelah kemerdekaan, lembaga ini berubah nama menjadi Balai Penyelidikan Hama Tumbuh-tumbuhan.
Di lembaga baru inilah ia mulai banyak bersentuhan dengan permasalahan hama pada berbagai pertanaman rakyat.
Bermula ia merasa terpanggil untuk meneliti hama penggerek padi putih (Scirpophaga innotata). Bahkan, hama ini pulalah yang kemudian dijadikan objek penelitian untuk penulisan disertasinya di Universitas Pertanian Wageningen. Ia lulus ujian doktornya dengan predikat cum laude pada tahun 1925.
Ia membuktikan bahwa diapause pada ulat penggerek padi putih bukan semata-mata disebabkan oleh kekeringan, melainkan oleh kondisi fisiologi tanaman padi saat memasuki fase generatif .
Inovasinya yang paling fenomenal adalah teknik penundaan waktu semai untuk menekan serangan hama penggerek padi putih. Pendekatan ini diterapkan secara luas di wilayah barat Brebes selama 12 tahun (1929–1941), mencakup lebih dari 35.000 hektar sawah, dengan hasil yang sangat memuaskan.
Selain penggerek, ia juga meneliti walang sangit dan tikus sawah, dua hama utama padi lainnya. Ia menyarankan pengaturan waktu tanam agar masa berbunga tidak melebihi 2.5 bulan, sehingga populasi walang sangit tidak sempat berkembang biak. Untuk tikus, ia menelusuri siklus perkembangbiakannya dan berbagai metode pengendalian yang sesuai dengan kondisi lokal.
Di luar padi, salah satu tanaman yang sempat menarik perhatiannya adalah kentang. Komoditas ini membawa dirinya ke dataran tinggi Lembang. Di sana ia menanam sendiri umbi-umbian itu sambil meneliti berbagai hamanya, seperti kumbang Epilachna dan ngengat penggerek umbi.
Untuk pengendalian penggerek umbi di gudang, ia menyarankan teknik sederhana namun efektif, yakni menutup tumpukan umbi dengan lapisan tanah setebal 10 cm.
Dari pengalamannya bertanam kentang, sempat terbersit niatan untuk pensiun dini dan menetap di Lembang sebagai seorang petani. Negeri asalnya tak lagi menarik baginya.
Kiprahnya tidak berhenti sampai di situ. Ia masih meneliti berbagai lalat Agromyzidae pada tanaman kacang-kacangan. Ia pula yang memperkenalkan penggunaan mulsa jerami sebagai cara pengendalian lalat bibit kedelai.
Bukunya De Agromyza-Vliegjes der Inlandsche Katjang-Gewassen op Java (1930) bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan ulang oleh Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) pada tahun 1984, atau 60 tahun setelah edisi aslinya. Ini menandakan sebuah pengakuan ilmiah lintas zaman.
Kiprahnya dalam pengendalian hayati pun tak kalah mengesankan. Dialah yang mengirim kumbang Cryptolaemus montrouzieri dari Jawa ke Toraja pada tahun 1928 untuk mengendalikan kutu putih Phenacoccus iceryoides di kebun kopi rakyat.
Enam tahun kemudian, pada 1934, ia memimpin proyek pengendalian kaktus liar Opuntia nigricans di Lembah Palu menggunakan kutu Dactylopius opuntiae dari Australia.
Bukan P van der Goot namanya kalau tidak peduli pada pertanaman rakyat. Kali ini giliran jengkol dan petai. Ia tuangkan hasil kajiannya itu dalam artikel berjudul "Dierlijke Vijanden van Djengkol en Peteh" [Hama-hama Jengkol dan Petai] yang terbit tahun 1940. Cara pengendalian yang ia sarankan pun sederhana saja: panen selagi muda. Saran yang tampak sepele, tapi penuh dengan muatan ekologi.
P van der Goot adalah sosok dengan seabrek kegiatan. Ia kerap menolak diam. Dan lazimnya ilmuwan besar, ia pun punya keunikan tersendiri. Meja kerjanya senantiasa dipenuhi tumpukan artikel, kertas catatan, spesimen serangga, botol vial, dan sejenisnya. Semuanya berserakan. Sulit untuk membayangkan bagaimana ia bisa bekerja di meja yang berantakan seperti itu.
Pada tahun 1934, Dr. P van der Goot didapuk menjadi Kepala Instituut voor Plantenziekten, menggantikan Dr. S Leefmans yang memutuskan untuk mudik selamanya ke negeri kelahirannya, Belanda.
Dua tahun berselang, tepatnya pada 1936, berkat jasa-jasanya dalam penelitian dan pengendalian berbagai hama tanaman, ia dianugerahi Medali Bosscha (Gambar 3).
![]() |
| Gambar 3. Medali Bosscha (Sumber: Wikipedia) |
Untuk mengetahui lebih jauh tentang penganugerahan ini, saya mencoba menelusuri sumber-sumber lama di internet. Betapa beruntungnya saya, di layar laptop muncul koran lawas Bataviaasch Nieuwsblad edisi 1 Agustus 1936 (Gambar 4).
![]() |
| Gambar 4. Koran lawas tahun 1936 yang memuat berita penganugerahan Medali Bosscha untuk Dr. P van der Goot. |
Pada halaman pertamanya, di kolom kanan atas, terpampang berita berjudul "Dr. P van der Goot gehuldigd bij toekenning der Bosscha-medaille", yang artinya Dr. P van der Goot dianugerahi Medali Bosccha.
Ia tercatat sebagai orang ketiga yang menerima medali bergengsi tersebut. Penerima pertama (1932) adalah Dr. MCJM Kerbosch, Direktur Kegubernuran Kina dan Perkebunan Teh Tjinjiroean. Penerima kedua (1934) ialah Ir. WF Einthoven, Kepala Radio-Laboratorium Layanan Pos, Telegraf, dan Telepon.
Medali Bosscha itu sendiri diberikan oleh Dewan Ilmu Pengetahuan Alam Hindia Belanda guna memelihara semangat Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha, pemilik Perkebunan Teh Malabar. Bosscha dikenal luas sebagai dermawan dan pelopor pembangunan Observatorium Bosscha di Lembang pada tahun 1923. Sebuah simbol dedikasi pada ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh waktu.
Kisah hidup P van der Goot berujung pilu, manakala Jepang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1942. Ia dibebastugaskan dari jabatannya, kehilangan peran yang selama ini menjadi panggilan hidupnya.
Untuk mengisi waktu dalam situasi yang serba tidak menentu itu, ia menyibukkan diri dengan menyiapkan naskah publikasi dari berbagai penelitian yang pernah dilakukannya.
Namun, pada suatu hari di bulan Agustus 1943, tetiba rumahnya didatangi dua orang serdadu Jepang, lengkap dengan senjata laras panjang tergantung di pundaknya. Ia ditangkap saat itu juga, meninggalkan naskah yang belum tuntas. Sejak hari itu, ia menjadi tawanan perang dan ditempatkan di kamp interniran. Tak hanya dia. Ribuan orang Europa lainnya juga mengalami nasib serupa.
Hidup P van der Goot pun seketika tercerabut. Ia dipisahkan dari istrinya, dipaksa meninggalkan hampir seluruh harta bendanya. Sementara itu, anak semata wayangnya telah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya.
Kegetiran kian dalam ketika kemudian ia dipindahkan ke kamp interniran di Tjimahi, Bandung. Kondisi kamp yang berdesakan, makanan yang tak berkecukupan, serta sanitasi yang buruk menyebabkan berjangkitnya berbagai penyakit seperti disentri, TBC, edema, dan sebagainya.
Suasana di kamp interniran itu dilukiskan oleh Nio Joe Lan, seorang wartawan Harian Sin Po. yang juga ditawan di kamp Tjimahi. Ia menuliskan pengalaman pribadinya itu dalam buku "Dalem Tawanan Djepang" terbitan tahun 1946, menggunakan dialek Melayu Tionghoa.
"Penjakit dysenterie malahan mendjalar begitoe loeas, hingga diambil poetoesan tjopoti semoea pintoe kakoes, soepaja selandjoetnya orang kaloear-masoek WC dengan tida oesah pegang daon-pintoe lagi", tuturnya.
Tak cuma itu.
"Boeat brantas penjakit dysenterie satoe waktoe kita diprentah tepok laler dan anteri saban hari satoe djoemblah jang tertentu dari itoe binatang berbahaja ka kantoor", ujarnya menambahkan.
Maksudnya, demi menekan penularan disentri, setiap tawanan diwajibkan untuk membunuh sejumlah lalat dengan cara menggebuknya. Lantas lalat-latat tadi setiap hari harus disetorkan sebagai bukti kepada petugas jaga.
Meski sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan, penyebaran penyakit disentri basiler tak terbendung. Hari demi hari korban berjatuhan. Tak terkecuali P van der Goot.
Tubuhnya semakin hari semakin kurus dan lemah, tak mampu menahan deraan disentri. Tak tertolong. Pada 10 April 1944 ia menghembuskan napas terakhirnya. Beberapa tawanan lainnya juga mengalami nasib yang sama.
"Dalam boelan-boelan blakangan sering kedjadian sakali dikoeboer 6 orang koelit poeti !", kenang Nio Joe Lan.
Mayat-mayat tersebut dikuburkan di suatu lahan kosong. Tempat pemakaman itu kini dikenal sebagai Taman Makam Perang Leuwigajah (Ereveld Leuwigajah). Luasnya sekitar 3 ha. Dari sebanyak 5.000 batu nisan berwarna putih dan berjejer rapi, satu di antaranya bertuliskan Dr. P van der Goot (klik di sini).
Di mata teman-teman dekatnya, P van der Goot dikenang sebagai pribadi yang hangat, baik hati, pekerja keras dan penuh dedikasi.
Hari-hari terakhir menjelang Jepang menyerah pada tahun 1945, istrinya pun menyusul ke alam sana. Ia meninggal di kamp tawanan wanita di Kampung Makassar, Batavia. Konon karena kecapaian.
Di sisi lain, selepas kemerdekaan, Dr. J van der Vecht --rekan kerja P van der Goot--yang selama pendudukan Jepang dijadikan romusha di Burma, kembali ke Indonesia pada tahun 1947.
Setibanya di Bogor, ia merasa terpanggil untuk mencari naskah yang pernah disiapkan oleh P van der Goot sebelum meninggal. Dengan susah payah, seluruh naskah akhirnya berhasil dihimpun. Setelah dilakukan penyempurnaan, naskah-naskah itu lantas dipublikasikan tahun 1948, 1949, dan 1951 pada LANDBOUW.
LANDBOUW adalah Majalah Pertanian Hindia Belanda yang terbit bulanan sejak 1925 hingga 1953. Saya cukup beruntung berhasil mendapatkan versi pdf-nya dari sebuah perpustakaan di Belanda. Seluruhnya gratis !. Sebagai perbandingan, salah satu lapak buku di Shopee menawarkan LANDBOUW bertahun 1931 seharga Rp. 597.000,-.
Dalam majalah LANDBOUW itu, setidaknya saya menjumpai lima artikel atas nama P van der Goot yang diterbitkan setelah kematiannya. Itu dicirikan oleh lambang † di sebelah kanan nama penulis. Artikel yang demikian dikenal dengan istilah posthumous publications atau publikasi anumerta. Kelima artikel itu adalah:
- De Walang sangit (Leptocorisa acuta Thunb.) als vijand van het rijstgewas as in Indonesie", [Walang sangit (Leptocorisa acuta Thunb,) sebagai hama padi di Indonesia].
- Twaalf jaren rijstboorderbestrijding door zaaitijdsregeling in West Brebes [Dua belas tahun pengendalian hama penggerek padi melalui pengaturan waktu tanam di bagian barat Brebes].
- Levenswijze van de Gele Rijstboorder [Cara hidup penggerek padi kuning].
- Biologische Bestrijding van Witte Luis (Phenacoccus iceryodes Gr.) op Koffie in de Toraja-Landen (Zuid Celebes) [Pengendalian Hayati Kutu Putih (Phenacoccus iceryodes Gr.) pada Tanaman Kopi di Daerah Toraja (Sulawesi Selatan)].
- Over Levenswijze en Bestrijding van Sawah-Ratten in het Laagland van Java [Tentang Cara Hidup dan Pengendalian Tikus Sawah di Dataran Rendah Jawa].
Memang, dibanding LGE Kalshoven atau J van der Vect yang jumlah publikasinya mencapai ratusan, P van der Goot masih kalah jauh. Yang membedakannya, publikasi P van der Goot umumnya bersifat utuh, menyeluruh, dan multitahun.
Misalnya saja, artikelnya tentang walang sangit mencakup morfologi, biologi, ekologi, dan cara-cara pengendaliannya. Datanya berasal dari pengamatan lapangan selama 11 tahun (1921-1932). Hal serupa tampak pada artikelnya tentang tikus sawah yang berasal dari pengamatan selama tahun 1932 hingga 1943, atau menjelang ia ditawan.
Dari jejak panjang perjalanan hidupnya itu, Dr. P van der Goot meninggalkan teladan berharga bahwa riset bukan sekadar upaya ilmiah, melainkan harus melebur dengan kebutuhan nyata para petani. Setiap riset, dalam pandangannya, semestinya menawarkan manfaat praktis bagi mereka yang bergulat langsung di lapangan. Baginya, ilmu akan menemukan maknanya yang sejati ketika ia berpihak pada kehidupan, dan berakar pada kenyataan yang dihadapi manusia sehari-hari.
Goot van der P. 1920. De Invoer op Java van een nieuw en nuttig Lieveheersbeestje (Cryptolaemus montrouzieri). Teysmannia 31(10): 493-510.
Kalshoven LGE. 1946. In Memoriam Dr. P van der Goot. Landbouw XIX(2): 50-53.
Nio Joe Lan. 1946. Dalem Tawanan Djepang. Jakarta: Komunitas Bambu. 353 h.
Roepke W. 1946. In Memoriam Dr. Pieter van der Goot. Tijdschrift over Plantenziekten : 33-37.
https://id.wikipedia.org/wiki/Karel_Albert_Rudolf_Bosscha
Rauf A. 2025. Membedah Kiprah Dr. P van der Goot dalam Pengendalian Hama di Hindia Belanda. https://www.serbaserbihama.com/2025/10/kiprah-van-der-goot-pengendalian-hama-hindia-belanda.html. Diakses tanggal (sebutkan).




No comments:
Post a Comment